Pertemuan Trump-Putin Terancam Batal

Buntut Konflik Ukraina-Rusia

Washington | Jurnal Asia

Presiden AS Donald Trump mengatakan dia kemungkinan akan membatalkan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menyusul konflik maritim antara Rusia dan Ukraina.

Trump mengatakan kepada Washington Post bahwa dia tengah menunggu laporan lengkap mengenai tindakan Rusia yang menembaki dan menahan tiga kapal angkatan laut Ukraina, Minggu (25/11).

Kedua pemimpin negara itu direncanakan bertemu di luar agenda KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, pekan ini. Sementara itu, AS mendorong negara-negara Eropa untuk bertindak lebih dalam mendukung Ukraina. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert mengatakan bahwa AS ingin melihat pemberlakuan sanksi yang lebih tegas terhadap Rusia.

Kepada Washington Post, Trump menyatakan bahwa laporan yang akan diberikan tim keamanan nasionalnya akan sangat menentukan tentang jadi atau tidaknya pertemuannya dengan Putin.
“Mungkin saya tidak akan menggelar pertemuan [dengan Putin]. Mungkin tidak akan ada pertemuan itu. Saya tidak suka serangan tersebut. Saya tidak menginginkannya sama sekali,” ujarnya.

Menurut Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, keduanya seharusnya akan membahas masalah keamanan, pengendalian persenjataan, serta isu-isu di Ukraina dan Timur Tengah selama konferensi berlangsung Jumat dan Sabtu nanti.

Awal mula terjadinya konflik

Kapal-kapal penjaga pantai Rusia mengeluarkan tembakan saat dua kapal artileri dan satu kapal tunda Ukraina mengarungi Selat Kerch di lepas pantai Krimea, kawasan yang dianeksasi Rusia 2014 lalu pada Minggu (25/11).

Dua puluh empat awak Ukraina lantas ditahan, tiga dia ntaranya terluka dalam insiden tersebut.
Ukraina menyebut kejadian tersebut sebagai sebuah “agresi”, namun Rusia menyatakan bahwa kapal-kapal Ukraina itu telah memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal.

Pengadilan Krimea lantas memerintahkan 12 awak Ukraina ditahan selama 60 hari. Sementara nasib awak lainnya baru akan ditentukan pengadilan Rabu (28/11) ini. Badan Intelijen Rusia, FSB, merilis sejumlah video di mana beberapa awak Ukraina membuat pernyataan. Salah satunya, Volodymyr Lisovyi, mengatakan bahwa mereka menyadari “perilaku provokatif” dari aksi tersebut.

Awak lainnya, Andriy Drach, mengatakan bahwa dia berada di kapal artileri tersebut dengan perintah untuk berlayar dari Odessa ke Mariupol.
“Kami sudah diperingatkan petugas perbatasan Rusia bahwa kami telah melanggar hukum Rusia. Mereka berulang kali meminta kami meninggalkan kawasan perairan Rusia,” ujarnya.
Komandan Angakatan Laut Ukraina, Ihor Voronchenko, mengatakan kepada stasiun TV Ukraina bahwa para awak kapal dipaksa membuat pernyataan palsu. “Saya tahu mereka berasal dari Nikopol. Mereka adalah pelaut profesional yang jujur dalam menjalankan tugasnya, namun yang mereka katakan sekarang itu bohong,” ujarnya.
Kepala Badan Intelijen Ukraina, SBU, Vasyl Hrystak, mengonfirmasi laporan Rusia bahwa beberapa anggotanya berada di atas kapal-kapal tersebut.
Namun hal itu merupakan “misi kontra-intelijen rutin” seperti yang juga secara rutin dilakukan Angkatan Laut Rusia.
Reaksi Ukraina
Senin (26/11) malam, parlemen Ukraina mendukung keputusan Presiden Petro Poroshenko untuk menetapkan darurat militer selama 30 hari, terhitung sejak 26 November, di 10 kawasan perbatasan.
Pada Selasa (27/11), Presiden Poroshenko menyatakan adanya ancaman perang terbuka dengan Rusia. “Jumlah tank Rusia di pangkalan militer sepanjang daerah perbatasan telah bertambah tiga kali lipat,” ungkapnya.
Lima dari 10 kawasan langsung berbatasan dengan Rusia, sementara dua lainnya berbatasan dengan kawasan Trans-Dniester, kawasan yang melepaskan diri dari Moldova di mana pasukan Rusia ditempatkan.
Sedangkan tiga kawasan lainnya berbatasan dengan Laut Hitam dan Laut Azov yang dekat dengan Krimea.
Ini adalah pertama kalinya Ukraina menetapkan darurat militer. Dalam kondisi ini, panglima militer berhak melarang aksi unjuk rasa dan aksi mogok massa. Ini adalah pertama kalinya Ukraina dan Rusia terlibat konflik terbuka setelah bertahun-tahun, meski sejak 2014 sesungguhnya separatis pro-Rusia dan relawan militer Rusia memerangi pasukan Rusia di dua kawasan timur Ukraina, yaitu Luhansk dan Donetsk.
Ketegangan memuncak saat tahun ini, Rusia membuka jembatan yang menghubungkan Rusia dan Krimea melintasi Selat Kerch, yang mengarah ke Laut Azov. Ukraina sendiri memiliki dua pelabuhan besar di pesisir utara Laut Azov, dan berdasarkan perjanjian di tahun 2003, kedua negara bisa secara bebas mengakses perairan tersebut. (dc-adp)

Close Ads X
Close Ads X