Parlemen: Inggris Harus Miliki Menteri Urusan Pengungsi

London – Inggris harus memiliki menteri untuk pengungsi dan menyusun strategi baru nasional untuk meningkatkan integrasi mereka, kata sekelompok anggota parlemen, Selasa, seraya menambahkan bahwa terlalu banyak pengungsi berakhir sebagai tunawisma dan miskin.

Kebijakan pemerintah telah menyebabkan “sistem dua lapis” dengan pengungsi yang dimukimkan di Inggris langsung dari luar negeri menerima bantuan lebih banyak dibandingkan mereka yang menerima status pengungsi setelah tiba sebagai pencari suaka, menurut laporan parlemen lintas partai.

Para anggota parlemen mengatakan penting bahwa para pengungsi menerima lebih banyak bantuan untuk mengakses kelas bahasa Inggris, layanan kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan.

“Pengungsi membawa begitu banyak bakat dan keterampilan, mereka hanya perlu peluang untuk membuka potensi mereka, “ kata Thangam Debbonaire, ketua kelompok lintas partai, dalam sebuah pernyataan.

Para anggota parlemen mengatakan Inggris harus menyusun kebijakan pengungsi “berdasarkan kasih” seiring negeri itu bergerak menuju sistem imigrasi pasca-Brexit menyusul keputusan negara itu untuk meninggalkan Uni Eropa. Laporan itu mengatakan banyak yang menjalani sampai akhir proses suaka berakhir miskin karena bantuan kepada mereka terputus setelah 28 hari pascamereka diberikan status pengungsi.

Para anggota parlemen itu menyeru agar periode itu diperpanjang untuk 50 hari agar memberi pengungsi waktu untuk mendapatkan dokumen, akomodasi akses dan mengamankan bantuan sementara mereka mencari pekerjaan.

Para anggota parlemen juga menyarankan pelonggaran aturan ketat yang sebagian besar melarang pencari suaka bekerja.

Mereka menunjukkan bahwa para pencari suaka yang diizinkan bekerja hanya bisa melamar pekerjaan di area di mana pekerjaan dari bidang yang ada dalam daftar “kekurangan” pemerintah termasuk pekerjaan khusus seperti sebagai insinyur kimia dan balerina.

Hampir 10.000 orang yang diberi status pengungsi di Inggris tahun lalu melalui jalur suaka, sementara sekitar 3.500 pengungsi dimukimkan langsung dari negara-negara lain.

Maurice Wren, kepala Dewan Amal Pengungsi, mengatakan tidak dapat diterima menawarkan beberapa pengungsi bantuan namun membiarkan yang lain terpapar “risiko tinggi tunawisma, kelaparan dan putus asa”.

“Mereka adalah orang yang telah melarikan diri dari bom yang sama dan peluru yang sama, penting bagi pemerintah mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan yang sama untuk mulai membangun kembali kehidupan mereka,” katanya dalam pernyataan. Dewan Pengungsi mencontohkan salah satu pengungsi Suriah yang telah menghabiskan lima bulan menjadi tunawisma dan pengangguran karena penundaan birokrasi dan dipaksa untuk mengandalkan memperoleh makanan dari donasi staf di toko amal tempat ia menjadi relawan.

“Saya akan selalu berterima kasih kepada Inggris, tapi saya tidak akan pernah memahami sistem yang menghentikan orang-orang seperti saya untuk mandiri dan berkontribusi kepada masyarakat,” katanya.

Sebelumnya, setidak-tidaknya delapan orang, termasuk anak kecil, tenggelam akibat perahu layar pengangkut pengungsi dan pendatang tenggelam di perairan pulau Lesbos di Yunani pada Senin (24/4).

Lesbos adalah gerbang utama menuju Uni Eropa pada 2015 untuk hampir satu juta warga Suriah, Irak dan Afghanistan, yang menyeberang dari Turki. Kesepakatan Uni Eropa dengan Ankara pada Maret tahun lalu menutup semua jalur itu.

Lebih dari 4.800 pengungsi dan pendatang menyeberang ke Yunani dari Turki pada tahun ini, kata data UNHCR, dan sekitar 20 orang tiba di pulau Yunani setiap hari. Sedikit-dikitnya 173.000 orang, kebanyakan warga Suriah, tiba di Yunani pada 2016. (ant)

Close Ads X
Close Ads X