Korut Sangkal Tuduhan Kekerasan dan Pelanggaran HAM

Pyongyang | Jurnal asia

Korea Utara menampik tuduhan soal meluasnya kekerasan dan pelanggaran serius di negara itu. Tuduhan ini dilontarkan oleh pejabat tinggi HAM PBB pada Selasa (20/6) kemarin.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra’ad al-Hussein mengatakan bahwa hanya ada sedikit perubahan terkait pelanggaran hak asasi manusia di negara itu. Pelanggaran HAM di Korut disebut Ra’ad tergolong berat, sudah berlangsung lama, dan sistematis. Pernyataan ini dibuat berdasarkan pantauan jarak jauh pihaknya.

“Orang-orang dari DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea) mempertaruhkan nyawa dan martabat mereka untuk melaksanakan hak asasi manusia fundamental mereka, termasuk mencari untuk meninggalkan negara dan berkomunikasi dengan orang-orang di luar negeri,” kata Zeid kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, seperti dilansir Reuters.

Zeid meminta kepada DPRK untuk meningkatkan keterlibatan dengan kantornya dan terutama dengan penyelidik hak asasi manusia PBB di Pyongyang, yang mandatnya tidak pernah diakui.

“Pengalaman kantor saya berulang kali menunjukkan mempertimbangkan hak asasi manusia dalam pembicaraan damai berkontribusi pada perdamaian yang bermakna dan berkelanjutan dalam jangka panjang,” tambah Zeid.

Dalam laporan penting pada tahun 2014, para penyelidik PBB mengatakan bahwa 80ribu hingga 120ribu orang diperkirakan ditahan pada sebuah kamp. Pada laporan itu juga mendokumentasikan penyiksaan dan pelanggaran lainnya. Zeid mengatakan bahwa mereka bisa saja menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan.

Wakil Deputi DPRK Choe Myong Nam mengatakan kepada anggota Dewan PBB bahwa pernyataan Zeid berdasarkan kepada informasi yang belum dikonfirmasi. laporan itu diduga dibuat dan disebarkan oleh pasukan yang memusuhi DPRK.
Korea Utara tetap berkomitmen untuk mendorong adanya dialog sementara. “Dengan keras menolak politisasi, keselektifan, standar ganda serta tuduhan tanpa dasar dan prasangka,” kata Choe.

Penyelidik hak asasi manusia PBB Tomas Ojea Quintana juga mengatakan bahwa telah berulang kali meminta kepada pihak Amerika Serikat dan negara-negara lain untuk menempatkan hak asasi manusia dengan kuat. Dengan demikian akan membuat kemajuan menuju denuklirisasi berkelanjutan.

Dalam balasan email terhadap Reuters, Ojea Quintana pada Jumat pekan lalu mengatakan bahwa dalam beberapa hari setelah KTT Singapura antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pembicaraan masalah hak asasi manusia menonjol dalam pertemuan tersebut.

Trump mengatakan dalam pertemuan itu bahwa dia telah meningkatkan kembalinya para prajurit dan nasib para korban penculikan Jepang. Tapi, menurutnya tak ada tanda kalau Korea Utara perlu meningkatkan catatan hak azasinya sebagai bagian dari negosiasi.

Pernyataan Trump yang lebih mengkhawatirkan adalah kecenderungannya untuk tidak fokus pada masa lalu, tapi hanya pada masa depan. (cnn-adp)

Close Ads X
Close Ads X