Presiden Cabut Kebijakan Fullday School

Sejumlah santri membentangkan poster saat aksi protes di halaman Kantor DPRD Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (14/6). Aksi yang diikuti Nahdliyin tersebut menolak rencana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang lima hari sekolah yang diduga berdampak pada eksistensi Madrasah Diniyah yang berada di pondok pesantren. ANTARA FOTO/Mukhamad Ali Fachrudin/zk/foc/17.

Jakarta – Akhirnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut kebijakan kontroversial full day school (FDS) yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Keputusan ini diambil Jokowi usai memanggil Muhadjir dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin ke Istana Negara, Senin (19/6)

“Presiden merespon aspirasi yang berkembang di masyarakat dan memahami apa yang jadi keinginan masyarakat dan ormas Islam. Oleh karena itu, Presiden akan melakukan penataan ulang terhadap aturan itu,” kata Kiai Ma’ruf usai pertemuan tersebut

Menurut Kiai Ma’ruf, kebijakan full day school yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 Tahun 2017 akan diganti dengan peraturan presiden.

Dalam kesempatan itu Kiai Amin Ma’ruf juga menyampaikan janji Presiden yang akan melakukan penguatan terhadap posisi Madrasah Diniyah. Penguatan tersebut bakal dilakukannya dengan meminta pertimbangan kepada sejumlah organisasi kegamaan seperti PBNU dan Muhammadiyah.

“Sehingga masalah-masalah yang menjadi krusial di dalam masyarakat akan bisa tertampung di dalam aturan yang akan dibuat itu,” tukas Kiai Ma’ruf

Sementara itu Kemdikbud menyebutkan sekolah seharian atau delapan jam selama sehari mempermudah guru dalam memenuhi kewajiban jam mengajar.

“Dengan sekolah lima hari tersebut, guru tidak perlu mencari tambahan mengajar ke sekolah lain untuk memenuhi kewajiban jam mengajar,” ujar Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Sumarna Surapranata.

Berdasarkan PP 19/2017, disebutkan jam mengajar guru menjadi 40 jam kerja dalam seminggu. Hal itu akan berlaku mulai tahun ajaran baru.

Untuk memenuhi 40 jam kerja tersebut, guru tidak hanya mengajar saja, tetapi melaksanakan merencanakan pembelajaran, melaksanakan/tatap muka pembelajaran, menilai, membimbing, dan melaksanakan tugas tambahan atau 5M. Pelaksanaan 5M akan terbagi menjadi tiga kategori, yakni, intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.

“Kalau kondisi tidak terpenuhi atau kekurangan, tidak perlu mengajar di tempat lain. Guru hendaknya konsentrasi mengajar di satu tempat, kekurangan jam bisa dilakukan dengan mengajar pendidikan karakter atau kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler,” katanya.

Saat ini, Kemdikbud sedang menyusun petunjuk teknis PP Nomor 19 Tahun 2017 tentang Revisi Beban Kerja Guru. Dalam Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang pemenuhan beban kerja guru, kepala sekolah/madrasah, dan pengawas sekolah/madrasah dijelaskan selama 40 jam kerja per minggu.

Pemenuhan jam kerja akan dibahas antara kepala sekolah dengan dinas pendidikan setiap daerah. Selain itu, ia melanjutkan, kegiatan seperti menjadi pembina pramuka, PMR, guru piket, pembina OSIS dan lain-lainnya.

“Kebijakan ini, memudahkan guru dan membuat guru lebih konsentrasi mengajar,”cetus dia.

Dia optimistis, kebijakan itu bisa mengatasi persoalan guru yang belum tersertifikasi. Jumlah guru yang sudah tersertifikasi sebanyak 1.429.993 guru dan sebanyak 69.931 atau 2,5 persen belum terbit SK sertifikasi yang disebabkan beberapa hal, seperti, tidak memenuhi syarat, tidak terdaftar di data pokok pendidikan (Dapodik), pensiun, tidak memiliki beban kerja dan lainnya. (ant)

Close Ads X
Close Ads X