Jakarta – Mulai tahun ini uang kuliah tunggal (UKT) ditetapkan rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sendiri.
Untuk itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir meminta seluruh rektor PTN tidak menetapkan uang kuliah terlalu tinggi.
“Mulai tahun ini UKT sudah ditetapkan rektor PTN sendiri. Sebab itu, mahasiswa yang tidak mampu, jangan sampai dikenakan biaya tinggi,” pesan Nasir, Minggu (15/1). Sebelumnya UKT diusulkan para rektor kemudian ditetapkan nominalnya oleh Menristekdikti. Namun, aturan itu kini diubah dengan memberikan kewenangan penuh kepada rektor.
“Meski saya tidak lagi menetapkan, tapi rektor harus melaporkan kepada saya besaran UKT-nya. Sebaiknya rektor memberlakukan subsidi silang antara mahasiswa mampu dan tidak mampu sehingga yang kurang mampu bisa mengenyam pendidikan tinggi,” bebernya.
Dengan kewenangan tersebut, lanjut Nasir, rektor harus bertanggung jawab atas UKT. Prinsipnya, mahasiswa yang berlatarbelakang keluarga mampu dan kurang mampu, uang kuliahnya harus berbeda.
SPP di 11 PTN Naik
Sementara itu diketahui, jajaran pengelola Perguruan Tinggi Negeri (PTN) badan hukum (PTN BH) berencana menaikkan besaran SPP yang diatur dalam skema uang kuliah tunggal (UKT). Kenaikan tarif SPP itu dikhususkan untuk kelompok atau kelas yang paling mahal.
Sampai saat ini ada 11 kampus yang berlabel PTN BH. Di dalam skema UKT penetapan SPP memang dibagi dalam beberapa kelompok.
Ada kampus yang menetapkan pengelompokan besaran SPP hingga tujuh jenis. Setiap mahasiswa baru akan dimasukkan dalam kelompok besaran SPP itu sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya.
Rektor UGM Dwikorita Karnawati mengatakan rencana kenaikan SPP dikhususkan untuk yang kelompok atas saja.
’’Inipun baru kalangan PTN badan hukum yang membahasnya,’’ katanya kemarin. Dia menegaskan karena berstatus PTN BH maka cukup ditetapkan oleh internal kampus.
Dwikorita menerangkan bahwa rencana kenaikan SPP itu khusus untuk kelompok UKT yang paling atas. Alasannya adalah untuk rasa keadilan. Dia mencontohkan UKT paling atas digunakan untuk mahasiswa baru yang penghasilan orangtuanya Rp 10 juta sampai Rp 100 juta per bulan bahkan lebih.
’’Nah itu kan ada tidak adilnya,’’ jelasnya. Dia menjelaskan, ketidakadilan muncul karena SPP mahasiswa dari orangtua berpenghasilan Rp 10 juta dengan yang Rp 100 juta sama.
Dia menuturkan seharusnya ada kelonggaran batas atas untuk mengakomodir masyarakat berpenghasilan sangat tinggi.
’’Jadi pada praktiknya itu ada juga masyarakat yang ngempet (menahan, red) ingin bayar mahal tapi tidak bisa,’’ jelasnya.
Mau membayar lebih tinggi, khawatir jadi suap, gratifikasi, atau yang lainnya. Sebab tidak ada aturan atau landasan hukumnya. (jp)