BUMI Bantah Isu Penggabungan Saham

Jakarta – PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi menjadi motor per­gerakan saham-saham Group Bakrie. Sekitar 7 dari 9 saham Grup Bakrie telah meninggalkan level Rp50 per saham alias zona gocap.

Awal mula kebangkitan sa­ham-saham Grup Bakrie bermula ketika isu restruktrisasi utang BUMI bergulir. Meski baru se­kedar wacana, saham BUMI mulai menanggalkan predikat gocap pada 10 Juni 2016 yang langsung naik ke level Rp67 per saham. Setelah itu pada 30 Juni 2016 saham BUMI stagnan di level Rp68 per saham.

Akhirnya pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) BUMI di 7 Februari 2017 sebanyak 99,96 persen pemegang saham sepakat atas rencana restrukturisasi utang melalui penerbitan saham baru dengan skema rights issue. Harga pelaksanaan rights issue dipatok pada level Rp926, se­hingga maksimal dana yang akan diraih lewat aksi ini adalah Rp35,1 triliun.

Lewat rights issue tersebut, maka jumlah utang yang akan di konversi melalui penerbitan saham baru atau rights issue sebesar US$ 2,01 miliar. Se­mentara untuk konversi melalui Obligasi Wajib Konversi (OWK) senilai US$ 639 juta.

Alhasil saham BUMI terus bergerak menguat di tengah keseriusan perseroan yang ingin melakukan restrukturisasi utang melalui rights issue, hingga posisi tertinggi di level Rp 505 pada 27 Januari 2017. Namun setelah itu saham BUMI kembali menuju jurang dengan penurunan ter­dalam pada 21 Februari 2017 di level Rp294 per saham.

Namun keesokan harinya saham BUMI kembali tancap gas de­­ngan menguat 25,17 persen ke le­vel Rp368. Kenaikan terse­but disinyalir lantaran bere­dar isu BUMI akan melakukan penggabungan saham (reverse stock split).

Isu tersebut lantas dibantah oleh pihak perseroan. Secara tegas Presiden Direktur BUMI, Ari S Hudaya menyatakan, per­seroan belum ada rencana me­lakukan reverse stock split.

“Dengan ini kami nyatakan tidak akan melakukan reverse stock, rumor itu tidak benar,” tegasnya di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (23/2).

Menurut Ari, fundamental perusahaan kini dalam kondisi prima. Menurut catatan laporan keuangan yang dimilikinya yang belum diaudit, perseroan mem­bukukan laba bersih di 2016 sebesar US$ 100,6 juta. Raihan tersebut sangat positif, sebab perseroan sebelumnya sempat mengalami rugi bersih di 2015 sebesar US$ 2 miliar.

Ari menjelaskan, raihan laba tersebut lantaran perseroan berhasil menekan biaya pro­duksi. Sehingga BUMI bisa bertahan di tengah anjloknya harga komoditas batu bara di 2016. “Itu yang membuat kinerja kami positif,” tuturnya.

Penekanan biaya produksi BUMI paling terlihat pada porsi biaya bahan bakar terhadap biaya kas produksi perusahaan. Tercatat porsi biaya bahan bakar 2016 sebesar US$ 3,8 turun dari 19 persen menjadi 14 persen.

Dalam laporan keuangan BUMI tercatat biaya bahan bakar di 2016 hanya US$ 3,8 per ton batu bara. Sedangan biaya bahan bakar di 2015 sebesar US$ 5,6 per ton batu bara.

“Kita memang tidak bisa menentukan harga bahan bakar itu pemerintah, tapi kita bisa menekan penggunaannya. Ini akan kita lakukan terus,” im­buhnya.

Biaya operasional BUMI di 2016 sebesar US$ 37,6 juta. Sementara dari sisi pendapatan BUMI di 2016 sebesar US$ 23,4 juta. Namun ada porsi penghasilan lainnya sebesar US$ 67,1 juta.
(dtf)

Close Ads X
Close Ads X