Rumah Subsidi Berperan Meminimalisir RTLH

Warga dan pelajar melintas didekat rumah panggung tidak layak huni di Desa Siron Blang, Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Aceh, Jumat (18/11). Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 jumlah Rumah Tak Layak Huni (RTLH) diseluruh Indonesia masih mencapai 2,51 juta unit, atau berkurang lebih dari 25 persen (sebanyak 890.000 unit) dibandingkan pada 2013 yang mencapai 3,4 juta unit. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/pd/16.

Jakarta – Tingginya angka rumah tidak layak huni (RTLH) yang tersebar di seluruh penjuru wilayah di Indonesia, menyebabkan Pemerintah harus bergerak gesit dalam menanggulanginya. Hal ini dilakukan tak lain adalah untuk memberikan hunian yang aman dan nyaman bagi masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, jumlah RTLH tercatat masih sekitar 2,51 juta unit dengan rincian 2,18 juta rawan layak huni dan 0,33 juta benar-benar tak layak huni.

Pemerintah pun berupaya keras mendorong percepatan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang layak, dengan mencanangkan Program Satu Juta Rumah sejak April 2015 lalu.

Tak hanya itu, guna menangani polemik yang masih cukup pelik ini, Pemerintah juga memiliki program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau yang lebih dikenal dengan program bedah rumah.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin, mengakui program bagus tersebut justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum tak bertanggung jawab.

“Dulu pelanggaran banyak terjadi di level pelaksanaan program BSPS, karena uang yang disalurkan tidak dibelikan bahan bangunan. Maka pada saat ini sistemnya telah kami ubah, salah satunya uang tidak akan cair sebelum dibelikan bahan bangunan,” tegasnya, akhir pekan kemarin.

BSPS sendiri bertujuan untuk meningkatkan kualitas rumah dan pembangunan baru, dilihat dari kualitas atap, lantai, dan dinding rumah, untuk dapat memenuhi syarat kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan.

Mencermati ironi tingginya angka RTLH di Tanah Air, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Aersi), Vidi Surfiadi, mengatakan perumahan subsidi sebenarnya dapat dijadikan solusi terbaik dalam menghadapi permasalahan ini.

Apalagi rumah subsidi telah dibekali segudang agenda unggulan yang didedikasikan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Mulai dari program FLPP dengan anggaran untuk tahun ini (2016) sebesar Rp9,7 Triliun, skema SSB (Subsisi Selisih Bunga) Rp2 Triliun sampai Rp3 Triliun, dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp4 Juta.

“Tapi sayangnya, Program Sejuta Rumah juga tak lepas dari kendala. Inilah yang akhirnya menghambat akselerasi dari pihak terkait (pengembang) dalam menyediakan rumah murah untuk rakyat, yang jika terealisasi dengan baik akan otomatis mengurangi backlog,” papar Vidi.

Imbas Belum Sahnya PKE ke-13 Menjelaskan lebih lanjut soal kendala dalam suplai rumah subsidi, ia menilai salah satu penyebab potensialnya ada pada Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XIII yang tak kunjung dieksekusi.

“Kenapa belum jalan, Karena ini baru sekedar kebijakan bukan regulasi. Oleh karena itu banyak pihak termasuk APERSI terus mendorong Pemerintah untuk segera menjadikannya sebagai Peraturan Pemerintah (PP),” tukasnya.

Sementara Wasudewan, Country Manager Rumah.com, menilai sosialisasi yang belum terlalu maksimal menjadi salah satu kendala lain dari rendahnya target Sejuta Rumah.

“Problem rendahnya penyerapan rumah subsidi adalah sosialisasi yang kurang kepada masyarakat. Masih banyak konsumen yang belum menyadari syarat dan cara mendapatkan perumahan jenis ini, padahal ini bisa jadi solusi yang bagus untuk pemerataan sehingga lebih banyak orang yang memiliki rumah sendiri,” ujarnya.
(oz)

Close Ads X
Close Ads X