Produksi Rokok 2020 Ditarget 524 Miliar Batang Diprediksi Naik 48 Persen

Jakarta | Jurnal Asia
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan permintaan tembakau dari industri rokok akan terus tumbuh. Lima tahun mendatang, yaitu pada 2020, proyeksi produksi rokok akan mencapai 524 miliar batang.

Angka ini diproyeksikan naik 48% dari produksi tahun 2014 sebesar 352 miliar batang. Keadaan tersebut justru belum ditunjang peningkatan produksi tembakau, sehingga potensi impor tembakau tidak terbendung.

“Produsen luar sudah men­yata­kan Indonesia akan jadi hub produksi rokok Asia Pasifik beberapa tahun mendatang. Roadmap proyeksi rokok total tahun 2020 akan mencapai 524 miliar batang. Data tidak diambil dari langit. Kami proyeksikan berdasarkan data selama 10 tahun terakhir untuk menyusun prediksi selama lima tahun ke depan,” kata Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian, Faiz Achmad, dalam Diskusi Forum Wartawan di Kementerian Pertanian Jakarta, Selasa (1/12).

Tahun ini, Faiz mengungkapkan, produsen rokok diberi ruang untuk memproduksi rokok hingga 338 miliar batang. “Meski ini tidak mungkin tercapai karena kenaikan cukai menjadi 11% dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 8,3% menjadi 8,7%,” imbuhnya.

Di tengah proyeksi naiknya produksi rokok hingga lima tahun ke depan, Indonesia masih dihadapkan pada proyeksi naiknya impor tembakau dari 2015 sebesar 434.000 ton, menjadi 599.000 ton pada 2020.

Impor tembakau Virginia men­capai US$ 300 juta dengan berat 70 ribu ton. “Itu virginia. Impor memang paling besar dari virginia. Memang dari sisi kinerja impor makin turun. Bisa karena produksi dalam negeri naik atau kebutuhan tembakau stagnan” imbuh Faiz.

Impor produk sigaret atau rokok pun masih tercatat sebesar 1,5 juta batang pada 2014. Namun Indonesia juga masih bisa ekspor rokok putih dalam jumlah besar. Ekspor rokok putih mencapai 1 miliar batang per tahun untuk tujuan 39 negara. Tingginya impor ini menjadi perhatian serius Kenenterian Perindustrian.

“Kita di Kemenperin sedang galau, ingin meningkatkan pro­duksi tembakau dalam negeri supaya impor tembakau ditekan. Kebetulan ketemu Pak Gamal (Dirjen Perkebunan Kementan) bagaimana caranya meningkatkan produktivitas tembakau,” kata Faiz.

Faiz mengatakan, perlu mendiskusikan rencana membuat aturan pabrik rokok mesin (SKM/Sigaret Kretek Mesin) besar wajib punya kebun tembakau sendiri. “Pabrik SKM saya rasa senang-senang saja kalau kita buat kebijakan wajib punya kebun. Produksi mereka naik, nggak perlu impor,” katanya.

Direktur Perbenihan Perke­bunan Kementerian Pertanian, Nurnowo Paridjo, mendukung rencana Kementerian Perindustrian mewajibkan industri SKM punya kebun sendiri dengan cara meningkatkan kemitraan dengan petani.

“Sepakat dengan usulan Kemenperin mewajibkan SKM punya kebun tetapi tidak wajib punya lahan untuk mencegah kapitalisme lahan. Kemitraan lahan dengan petani harus ditingkatkan dengan mekanisme saling menguntungkan kedua pihak. Pengalaman kita terkait kemitraan dengan pabrik rokok ini memang belum berjalan baik,” kata Nurwono.

Cukai SKT Tak Naik
Kenaikan cukai rokok rata-rata naik 11% pada 2016, namun tidak berlaku bagi pelaku industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang umumnya pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Kenaikan cukai berlaku bagi Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang punya pangsa pasar 71%.

“Market share SKM 71%. Industri ini tidak bisa dihentikan, unstopable. Kalau keberpihakan pemerintah ke SKT tidak ada, maka heritage bisa hancur. Kemenperin minta mati-matian jangan sampai naik cukainya SKT. Cukai SKT tidak naik bisa jadi benteng masuknya rokok ilegal. Keberadaan industri rokok kecil membantu industri besar agar rokok ilegal bisa terbendung,” kata Faiz lagi.

Besarnya market share SKM seiring dengan besarnya sumbangan cukai SKM yang saat ini cukainya ke kas negara. Faiz menyampaikan produksi rokok mencapai 352 miliar batang dengan 700 unit usaha pada tahun 2014.

Terlihat kekuatan SKM dengan penurunan jumlah pabrik rokok dibanding tahun 2009 mencapai 3.225 unit usaha namun produksi hanya 284 miliar batang. “Jadi berkurangnya usaha kecil menengah pelaku SKT tidak mempengaruhi produksi. Pemain-pemain SKM besarlah yang saat ini memproduksi dalam jumlah besar. Cukainya naik dari 2009 Rp 55,38 triliun mencapai Rp 112,5 triliun pada 2014,” jelas Faiz.

Bahkan pendapatan dari cukai rokok, kata Faiz, jauh mengalahkan sumbangan tambang emas PT Freeport Indonesia. “Freeport membanggakan diri mengatakan sejak 1995 sampai 2014 sumbangan Rp 200 triliun itu hanya setara 2 tahun dari industri rokok. Jadi ini industri besar, industri rokok nggak akan mati meski cukai dinaikkan,” ucapnya. (dc)

Close Ads X
Close Ads X