Pengusaha Sawit Lapor Kampanye Negatif Hingga Biodiesel

Jakarta | Jurnal Asia
Kalangan pengusaha sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Selasa (2/2). Kepada pemerintah, GAPKI meminta kepastian penyerapan untuk kebutuhan dalam negeri.

Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono menyatakan, ekspor sawit Indonesia mencapai 26 juta ton. Pemerintah telah berencana menerapkan biodiesel B20. Ini sangat membantu kepastian penyerapan produksi, sehingga harus direalisasikan. Program B20 adalah, setiap liter solar harus ada campuran biodiesel sebanyak 20%.

“Insentif itu yang penting bisa diserap dengan baik maka bagus lah. B20 sangat membantu domestik. Kalau bisa 3 juta ton (diserap) maka bisa mengurangi 3 juta ton dari pasar global, sehingga akan bisa memberikan sentimen positif bagi pelaku pasar,” terang Joko di Istana Negara Jakarta, Selasa (2/2).

Selain itu, GAPKI juga mengeluhkan kampanye negatif dari berbagai pihak soal sawit. Ini sangat berpengaruh terhadap permintaan sawit dari berbagai negara di dunia. “Melaporkan mengenai isu perdagangan, banyak kampenye negatif,” imbuhnya.

Presiden Jokowi, menurut Joko akan memberikan dukungan terhadap industri sawit. Dikarenakan sawit adalah komoditas strategis dan besar pengaruhnya dalam mendorong perekonomian nasional.
Apalagi diketahui, ekspor sawit masih dalam urutan terbsar pada kelompok non migas. Bila terus ditingkatkan, maka akan bisa menyaingi ekspor minyak dan gas bumi (migas).

“Presiden bilang ini strategis sehingga harus dikembangkan ke depan. Ekspor juga harus ditingkatkan dan dikembangkan. Dengan demikian secara horizontal maupun vertikal ini harus memperoleh dukungan,” jelas Joko.

Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, komoditas sawit memiliki potensi yang besar. Tercatat devisa yang dihasilkan pada 2015 mencapai US$ 18,6 miliar dengan serapan tenaga kerja 6 juta orang.

“Kita perlu duduk bersama untuk meningkatkan produksi dan perkebunan mandiri itu kan hasilnya rendah, tapi kalau kita bandingkan binaan perusahaan jauh lebih besar. Apalagi sekarang kan ada BLU sawit untuk peremajaan tanaman sawit,” terangnya.

Di sisi lain, pengusaha minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunnya asal Indonesia melayangkan protes terkait rencana Pemerintah Prancis untuk mengenakan pajak tambahan. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah perlindungan yang tidak sehat.

Alasannya, kebijakan pajak tambahan membuat harga minyak sawit Indonesia yang semula lebih rendah, akan berbalik menjadi jauh lebih tinggi daripada harga minyak nabati seperti kedelai dan minyak biji bunga matahari produksi dalam negeri Prancis.

“Itukan seperti menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Itu tidak fair,” tegas Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, Derom Bangun ditemui di Kantor Menko Maritim dan Sumber Daya Jakarta, Selasa (2/2).

Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkembunan Kelapa Sawit, Bayu Krishnamurti mengatakan langkah ini sebagai tindakan diskriminatif yang dapat merugikan industri kelapa sawit Indonesia. “Pajak ini akan membuat harga produk CPO dan turunannya akan meningkat signifikan sehingga tidak menarik dari segi bisnis,” ujar Bayu.

Diskriminasi yang dimaksud Bayu adalah, pengenaan pajak ini hanya berlaku bagi produk CPO. Padahal, bila bicara minyak nabati, masih ada produk minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari namun tidak dikenakan pajak.

Bila dibandingkan dengan minyak sawit, harga minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari lebih mahal. “Harganya sekitar US$ 150 lebih tinggi ketimbang harga CPO,” tutur dia.
Harga CPO dunia yang berlaku saat ini adalah sekitar US$ 500 atau sekitar Rp7 juta (kurs Rp 14.000/US$). Dengan penjelasan Bayu tersebut, maka minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai saat ini mencapai US$ 650/ton atau Rp9,1 juta.

Namun harga tersebut akan berbalik arah bila pajak CPO dan turunnya jadi diterapkan. Besaran pajak impor itu adalah 300 euro per ton pada 2017, dan akan meningkat. Tahun 2018 menjadi 500 euro per ton. Pada 2019 akan naik lagi menjadi 700 euro per ton, serta naik lagi menjadi 900 euro per ton pada 2020.
(dc)

Close Ads X
Close Ads X