Optimalkan Panas Bumi untuk Ketahanan Energi

Jakarta – Indonesia merupakan negara paling kaya energi panas bumi karena terletak pada busur vulkanik dengan total potensi energi sebesar 29.215 Gwe. Untuk itu, sudah selayaknya pemerintah memikirkan pengembangan energi panas bumi sebagai langkah diversifikasi energi yang merupakan elemen penting dalam penciptaan ketahanan energi (energy security).

“Sumber daya panas bumi di Indonesia cukup tersebar dan merupakan sumber daya dengan kandungan panas yang cukup tinggi (high enthalpy) karena terletak di salah satu kerangka tektonik yang paling aktif di dunia, yakni di antara perbatasan Indo-Australia, Pasifik, Filipina dan lempeng tektonik Eurasia. Posisi strategis tesebut menjadikan Indonesia sebagai negara paling kaya dengan energi panas bumi yang tersebar di 285 titik daerah sepanjang busur vulkanik,” kata pakar energi Achmad Madjedi Hasan di Jakarta, kemarin.

Menurut dia, sumber daya panas bumi akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak dan fosil. Selain itu, sumber energi panas bumi juga akan membatasi emisi gas rumah kaca (greenhouse gas). “Pengembangan sumber daya panas bumi akan membantu pemenuhan target emisi dan kelestarian lingkungan,” kata Madjedi Hasan yang mendapat gelar Master of Petroleum Engineering dari University of Oklahoma, USA.

Madjedi Hasan yang juga jebolan Fakultas Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, pemenuhan akan meningkatnya kebutuhan energi dan untuk menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup akibat pemanasan global maka dibutuhkan sumber energi alternatif yang baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Meskipun investasi awal tinggi, kata dia, biaya operasi pembangkit listrik tenaga panasbumi (PLTP) lebih rendah, karena tidak memerlukan bahan bakar dalam kaitannya dengan biaya dan dampak terhadap lingkungan. Selain itu PLTP dapat dioperasikan dengan kapasitas beban dasar atau based load capacity diatas 90% atau lebih tinggi dari pada Pusat Tenaga Listrik yang dibangkitkan oleh panas matahari atau angin (bayu).

Dari aspek peraturan perundang-undangan, kata dia, melalui Keppres No 45/1991 dan No 49/1991, Pemerintah membuka kesempatan pihak swasta untuk kegiatan panas bumi bekerja sama dengan Pertamina.

Pada tahun 1997-1998 Pemerintah terpaksa menunda dan menghentikan beberapa proyek infrastruktur termasuk ketenagalistrikan, karena terjadi gejolak ekonomi yang melanda Asia. Penundaan ini menyebabkan beberapa pengembang (asing) memutuskan untuk mundur dari kegiatan panas bumi.

Untuk lebih menggalakkan kegiatan panas bumi, pada tahun 2003, Pemerintah menerbitkan UU No 27/2003, yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menerbitkan izin pengusahaan panas bumi. Berdasarkan UU 27/2003, praktis kegiatan usaha panas bumi untuk wilayah-wilayah baru kurang berkembang. Peningkatan kapasitas pembangkit panas bumi dari sekitar 700 MW sebelum krisis menjadi 1300 MW saat ini berasal dari wilayah-wilayah kerja yang diberikan berdasar Keppres tahun 1970-an.

UU No 27/2003 kemudian digantikan dengan UU No 21/2014. Perubahan penting dalam UU Nomor 21/2014 antara lain, pengusahaan panas bumi tak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, sehingga pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di atas lahan konservasi. Selain itu, kewenangan pemberian izin Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Dalam aturan itu juga disebutkan bahwa pengiriman, penyerahan dan/atau pemindahtanganan data dan informasi kegiatan penyelenggaran panas bumi harus dilakukan dengan izin Pemerintah. Sementara itu, diatur tentang pengalihan kepemilikan saham, dimana pada UU 27/2003 belum diatur. “Pada UU No 21/2014, ada kewajiban pemegang izin panas bumi untuk memberikan bonus produksi kepada Pemerintah Daerah,” katanya.

UU No 21/2014 ini, kata Madjedi, memang telah memberikan perubahan mendasar yang mengatur pengembangan sumber panas bumi di Indonesia, termasuk di dalamnya tidak mengklasifikasikan kegiatan panas bumi sebagai kegiatan pertambangan dan perbaikan dalam stuktur transaksi panas bumi. Namun demikian, efektivitas pelaksanaan UU ini masih terkendala sejumlah masalah, seperti pembebasan lahan, kesulitan pendanaan, dan keberatan dari rakyat setempat.

“UU ini seharusnya mem­berikan manfaat lebih besar bagi Pemerintah Daerah (Pem­da), karena selain me­ringankan tugas Pemda juga akan memberikan tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” katanya. Madjedi Hasan ber­harap, dengan memanfaatkan energi terbarukan panas bumi, pemerintah Indonesia saat ini akan mewariskan lingkungan yang baik bagi generasi-generasi berikut dan juga meletakkan landasan etis untuk negara kesejahteraan modern (modern welfare state), yang merupakan cita-cita didirikannya Negara Kesatuan RI.

(bs)

Close Ads X
Close Ads X