Kita Butuh Banyak Ahli Fiqh Guna Mengatasi Persoalan (Ekonomi) Bangsa

Ilustrasi

Medan | Jurnal Asia
Perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam sangat pesat dalam beberapa dekade belakangan ini. Bukan hanya di lembaga pendidikannya saja, namun di industri keuangannya juga mengalami kemajuan dimana banyak lembaga keuangan syariah yang berdiri. Mulai dari Bank Umum Syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, terakhir yang lagi rame di perbincangkan ada Bank Wakaf.

Walau demikian, tidak sedikit yang menyatakan bahwa Bank syariah itu tidak syariah, Bank Syariah itu tidak sesuai Alqur’an dan Sunnah, Bank Syariah dan Konven sama saja atau banyak pendapat yang menyatakan bahwa Bank Syariah itu ibarat daging babi yang di bungkus dengan label halal.

Saya sendiri memiliki pengalaman yang serupa, di mana banyak masyarakat yang tidak memahami perbedaan antara transaksi futures dengan transaksi saham atau foreign exchange. Sehingga saat futures dinilai haram karena ada unsur ghararnya maka masyarakat berkesimpulan yang lainnya juga (saham maupun forex) haram.

Pemahaman masyarakat bahwa transaksi indeks ataupun forex di futures itu tidak berbeda dengan transaksi saham di Bursa Efek Indonesia ataupun transaksi valas (forex) dengan yang ada di Bank. Karena hampir bisa dipastikan penilaian yang dilakukan sangat dangkal. Memang ada persamaan antara pelaku pasar di futures maupun di pasar modal atau pasar uang.

Mereka semuanya melihat perubahan harga valas, indeks maupun saham melalui layar monitor yang sama. Harganya juga sama, model transaksinya juga sama, bahkan cara menganalisanya juga sama (teknikal dan fundamental).

Tetapi mereka tidak merinci secara lebih dalam lagi bagaimana proses pertukaran barang kalau transaksi saham di bursa maupun forex di Bank. Mereka juga tidak melihat secara detail proses pertukaran barang jika bertransaksi di Bursa Efek Indonesia.

Yang sudah barang pasti, proses pertukaran barang dalam transaksi futures itu tidak ada sama sekali. Dikarenakan transaksi jual beli yang mereka lakukan di futures itu tidak memiliki lawan transaksi yang jelas. Sangat berbeda jika bertransaksi saham maupun forex yang dilakukan melalui bursa ataupun perbankan. Yang jelas dimana ada peralihan antara hak dan kewajiban disitu.

Yang lebih parahnya lagi, banyak diantara mereka yang juga tidak bisa membedakan mana indeks saham ataupun saham. Semuanya pukul rata sama, dan tentunya ini sangat miris sekali, karena seorang anak alumni ekonomi syariah sekalipun belum bisa membedakannya.

Pengalaman saya yang lainnya yang sempat ditanyakan antara lain mengenai jual beli ataupun cicilan emas. Saya sempat menemukan perdebatan yang setuju bahwa cicilan emas itu haram, dan yang setuju bahwa transaksi emas tersebut halal.

Nah, saya secara pribadi mencoba mencari fatwa MUI terkait dengan permasalahan tersebut. Dan ternyata memang tidak di haramkan. Tetapi yang saya tidak habis pikir adalah perdebatan mengenai transaksi emas tersebut justru tidak menyentuh substansinya. Kedua belah pihak cenderung menggunakan pendapat salah satu ulama yang mengharamkan untuk selanjutnya di komparasi dengan ulama lain yang menghalalkannya.

Sehingga substansinya tidak tersentuh sama sekali di situ. Padahal substansi dari perdebatan tersebut adalah masih adanya pendapat yang menilai bahwa uang yang kita pegang saat ini itu memiliki underlying aset berupa emas. Padahal di saat ini, uang di banyak negara itu dicetak tanpa mengacu harus memiliki emas tertentu.

Saya menilai ulama yang mengharamkan cicil emas tersebut masih mengacu kepada landasan hukum Alquran dan Hadits, maupun Urf yang berlaku di zaman Rasullullah. Padahal zaman itu terus mengalami perubahan, Urf yang berlaku di jaman Rosul terus berkembang pada saat ini. Sehingga dibutuhkan dewan ulama serta umara dewan yang tidak hanya mengacu kepada Alquran ataupun hadits.

Dalam konteks fatwa halal cicilan emas, seorang ulama itu harusnya dituntut mampu menunjukan dalil Muttafaq seperti alquran maupun hadits, selanjutnya dalil Muttafaq lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas serta dilanjutkan dengan dalil Mukhtalaf seperti Urf atau mashlahah mursalah. Artinya memang di butuhkan motode ushul fiqh yang tepat sebelum memutuskan suatu perkara.

Jadi kesimpulannya adalah untuk memutuskan perkara mengenai halal tidaknya transaksi cicilan emas. Kita bukan hanya membutuhkan seorang ulama yang memahami Alquran maupun hadits. Tetapi kita juga membutuhkan seorang yang ahli dibidang moneter, keuangan atau ahli ekonomi.

Yang menurut hemat saya sebuah keniscayaan ada seorang ulama yang menguasai banyak disipin ilmu tersebut. Oleh karena itu Rasulullah mengarahkan kita untuk berpedoman kepada ulil amri (di Indonesia dikenal dengan MUI), bukan hanya kepada salah satu sosok ulama tertentu yang dijadikan rujukan.

Masalah-masalah lainnya juga muncul di tengah umat saat ini. Katakanlah masih ada perdebatan mengenai halal haram transaksi jual beli online, masyarakat yang tidak memahami apa riba itu sebenarnya, Transaksi simpanan dana maupun potongan harga OVO atau Gojek yang menuai pro kontra, masalah discount ataupun potongan harga di pasar modern dan masih banyak masalah lainnya.

Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah respon Ulil Amri (MUI) yang cenderung lebih lambat dalam merespon banyak permasalahan yang timbul di tengah umat, sebagai contoh respon MUI terkait dengan Bitcoin yang sudah lebih dahulu menjamur di tengah masyarakat.

Sejauh ini, masyarakat cukup teredukasi dengan baik bagaimana membeli makanan atau minuman maupun porduk jasa yang halal ataupun haram. Label yang tertera dalam setiap kemasan maupun label syariah yang melekat di merek industri jasa mempermudah masyarakat membedakan mana produk halal dan yang haram.

Perkembangan teknologi yang kian pesat memang membuat Urf juga mengalami perubahan yang signifikan. Bukan hanya ulil amri yang dinilai terlambat dalam merespon permasalahan di tengah masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap ojek online saja dinilai terlambat. Karena masalah muncul selanjutnya regulasi baru dibuat.

Ulama dalam hal ini sebenarnya memiliki peran strategis dalam menjembatani permasalahan-permasalahan yang muncul. Seperti Sebelumnya pernah sempat mencuat ditengah masyarakat menjamurnya arisan berantai. Mulai dari MMM, Pohon Uang, BMA dan banyak bentuk money game lain yang sejenis.

Di saat marak terjadi money game, MUI memang mengeluarkan fatwa haram. Tetapi sebagian masyarakat yang sudah terlanjur ikut didalamnya lebih memilih pendapat pemuka agama sebagai rujukan lainnya, yang dalam konteks ini perlu dipertanyakan keahliannya. Nah disaat itulah, saya secara pribadi menilai bahwa masyarakat juga perlu diedukasi untuk lebih bijak dalam mencari rujukan.

Dan saya juga berharap seorang tokoh agama tidak mengeluarkan pernyataan diluar keilmuan yang dikuasainya. Karena pernyataan yang dikeluarkan tersebut kerap diyakini sebagai kebenaran oleh pengikutnya. Dan bila perlu pengikutnya membenturkan pendapat junjungannya tersebut kepada mereka yang dinilai berseberangan. Bahkan bila perlu dibenturkan dengan fatwa MUI, jika fatwa MUI juga dinilai berseberangan.

Dalam konteks seperti ini muncul gesekan ditengah masyarakat. Padahal harusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Karena rujukan masing-masing ulama itu bisa saja berbeda, khususnya jika setelah merujuk kepada Alquran dan Hadits.

Oleh karena itu, selain Alquran dan Hadits, umat islam harus merujuk kepada fatwa MUI sebagai landasan hukum selanjutnya. Walaupun ada landasan hukum lain yang harus jadi rujukan, yakni hukum yang berlaku dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di sisi yang lain, kita juga berharap masing-masing pemuka agama lebih bijak dalam memberikan pendapatnya. Artinya jika ulama berpendapat sebaiknya tidak langsung membuat pendapat ulama lain yang berbeda sebagai bentuk kekeliruan.

Tetapi dijadikan sebagai proses tabayyun dari sebuah keragaman dan diikuti dengan sikap saling menghargai. Dan saya juga berharap semua ulama juga tunduk kepada fatwa yang dikeluarkan oleh MUI sebagai rujukan dakwah di tengah masyarakat, terlebih untuk urusan muamalah.

Hal tersebut agar masyarakat muslim memiliki pandangan yang sama dalam aktifitas kesehariannya. Itulah mengapa kita membutuhkan banyak ahli fiqh saat ini. Karena dengan fiqh sejumlah persoalan yang terjadi di tengah masyarakat bisa diselesaikan. Namun fenomenanya saat ini banyak masyarakat yang banyak berlomba menjadi tahfidz qur’an dibandingkan menjadi ahli fiqh.

Walaupun bisa saja dari seorang tahfidz tersebut nantinya akan banyak muncul mereka yang ahli fiqh. Semoga, Aminn..

Penulis : Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara, Gunawan Benjamin.

 

Close Ads X
Close Ads X