Kerja Sama Uni Ekonomi Eurasia | Peluang Besar, Tapi Perlu Banyak Pertimbangan

Jakarta | Jurnal Asia
Kementerian Perdagangan (Kemda) menyatakan tawaran kerja sama dengan Uni Ekonomi Eurasia masih dalam tahap awal dan memerlukan banyak pertimbangan. Namun demikian, kerja sama ini berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia ke Rusia mengingat adanya embargo dari negera-negara maju seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa terhadap Negeri Beruang Merah tersebut.

Direktur Kerja Sama Asean Kemdag, Donna Gultom, me­nga­takan tawaran kerja sama Eurasia dapat dilakukan dengan dua skema. Masing-masing yaitu, lewat Asean-Eurasia Free Trade Agrement (FTA) atau secara bilateral dalam Indonesia-Eurasia FTA.

Menurut Dona, sedikitnya ada tiga hal yang mesti dipertimbangkan manakala kerja sama dilakukan melalui Asean-Eurasia FT. “Pertama beberapa negara-negara anggota Uni Ekonomi Eurasia belum masuk sebagai keanggotaan World Trade Organization (WTO),” katanya, Minggu (22/5).

Kedua, negara-negara Asean juga harus mempertimbangkan dampak embargo ekonomi yang dihadapi Rusia dari sejumlah negara maju. Ketiga, saat ini negara kawasan Asia Tenggara masih disibukkan dalam sejumlah kerja sama lain yang tengah dalam tahap perundingan.

Antara lain, Asean-Hong Kong FTA, dan regional comprehensive conomic partnership (RCEP) dengan enam negara mitra Asean seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, serta New Zeland. “Jadi, masih sangat dini sekali untuk Asean-Eurasia FTA bagi Asean,” kata Donna.

Donna menambahkan, rencana kerja sama perdagangan juga dapat dila­kukan secara bilateral. Tapi, hal ini patut menjadi pertimbangan karena masih banyak perundingan kerja sama lain yang bakal digelar dalam waktu dekat. “Saya kira perlu dibahas terlebih dahulu di dalam negeri, sebab saat ini sedang dimulai untuk berlangsungnya perundingan dengan Australia dan Uni Eropa,” kata Donna.

Selain itu, Indonesia juga memiliki niatan untuk bergabung dalam trans pasific partnership (TPP). Menurut Donna, rencana kerja sama perdagangan dengan negara-negara Eurasia tentu akan menguntungkan, karena dapat memperlebar pasar ekspor Indonesia. Apalagi, Rusia sebagai salah satu anggotanya mengalami embargo dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. “Potensi ekonominya saya kira masih harus dikaji, tapi kalau dilihat dari embargo merupakan peluang buat Indonesia memasok ke pasar Rusia,” ujar dia.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi baru saja pulang dari lawatannya di Rusia. Disana, Jokowi bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam upaya mening­katkan kerja sama di berbagai bidang. “Ini tampak dari level pemerintah dan swasta, terutama dalam upaya peningkatan ekspor buah, sayuran sawit, dan potensi pariwisata. Semua potensi ini akan ditindaklanjuti Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi di Jakarta, Sabtu lalu.

Terkait investasi, menurut Menlu, antara lain ada komitmen pembangunan kilang minyak dan gas oleh pengusaha Rusia senilai 13 miliar dolar AS. Juga sudah ditandatangani lima kesepakatan kerja sama, antara lain bidang pertahanan, fishing, kebudayaan dan arsip kementerian.

Di Rusia, Presiden Jokowi juga menghadiri KTT ASEAN-Rusia yang dilakukan dalam memperingatii 20 tahun kemitraan ASEAN-Rusia. “Tampak ada keinginan Rusia untuk meningkatkan kerja sama dalam bidang ekonomi dan respons terhadap isu integrasi ekonomi,” katanya.

Dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Bisnis Per­himpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Rusia, Presiden Jokowi menyampaikan beberapa hal antara lain kemitraan ASEAN dan Rusia harus membawa man­faat bagi perdamaian dan kemakmuran.

“Presiden Jokowi juga men­yampaikan pentingnya pem­ba­ngunan arsitektur keamanan kawasan dengan mengedapankan sentralitas ASEAN dan meminta dukungan Rusia atas perlunya arstektur keamanan kawasan yang diusulkan Indonesia itu,” katanya.

Presiden Jokowi juga me­nekankan kerja sama ekonomi dalam konteks ASEAN-Rusia, terutama dalam bidang energi dan konektivitas. Di sela-sela KTT ASEAN-Rusia, Presiden Jokowi juga bertemu dengan PM Vietnam yang baru, Nguyen Xuan Phuc, dan membahas upaya mendorong pencapaian target volume per­dagangan 10 milliar dolar AS pada 2018 dan mendorong kelanjutan pembahasan delimitasi pebatasan maritim RI-Vietnam. “Presiden Jokowi juga bertemu dengan PM Singapura yang membahas rencana kunjungannya ke Indonesia dalam waktu dekat ini,” tambah Retno.

Sementara itu, dari kunjungan ke Korea Selatan, pemerintah menangkap sinyal kuat ketertarikan pengusaha Korsel untuk berbisnis ataupun menanamkan investasinya di Tanah Air. Hal ini tercermin dari animo pengusaha asal Negeri Gingseng ini ketika pelaksanaan Forum Bisnis yang dihadiri Presiden Joko Widodo dalam rangkaian acara kunjungan kenegaraan ke Korea Selatan pada Senin (16/5) hingga Rabu (18/5) silam.

Retno mengatakan, dalam forum bisnis tersebut sedikitnya hadir sebanyak 500 pengusaha asal Korea. Bahkan, ada mengklaim, para pengusaha sangat antusias mengikuti pertemuan bisnis tersebut. “Bisnis deal yang dihasilkan sebesar US$ 18 miliar,” katanya.

Menurut Retno, dari kunjungan kenegaraan ke Korsel tercatat selain kesepakatan bisnis, ada beberapa hal yang dihasilkan bagi Indonesia melihat komitmen kuat dari Pemerintah Korsel untuk meningkatkan kerja sama di berbagai bidang dengan Indonesia.

Selain kerja sama kuat yang sudah dilakukan terdapat dua kerja sama yang akan ditambahkan dan diprioritaskan yaitu kerja sama akselerasi industrialisasi dan kerja sama pengembangan industri kreatif, ujarnya. (ant-kci)

Close Ads X
Close Ads X