Keluarkan Resolusi Sawit | Eropa Campuri Pertanian RI

Sejumlah pekerja berada di samping tumpukan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di salah satu tempat pengumpulan di Desa Matang Supeng, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Kamis (12/1). Sejak sebulan terakhir harga tandan buah segar kelapa sawit tingkat pedagang pengumpul mulai naik dari Rp 1.050 per kilogram menjadi Rp 1.475 per kilogram. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/ama/17.

Jakarta – Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, meminta Parlemen Uni Eropa untuk tidak mencampuri kebijakan Indonesia, khususnya dalam standarisasi crude palm oil (CPO).

Parlemen Uni Eropa me­ngeluarkan resolusi soal sawit dan pelarangan biodiesel ber­basis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM.

“Jangan mencampuri urusan pertanian dalam negeri. Kita punya standar ISPO, kita sudah kerja sama dengan Malaysia RSPO, kita sudah join, kita punya standar sendiri untuk pertanian berkelanjutan. Silahkan diurus standarnya sendiri, Indonesia punya standar sendiri dan kita sudah sepakat dengan Malaysia,” kata Amran usai acara Rapimnas HKTI di Balai Kartini, Jakarta, Senin (10/4).

Amran mengatakan, jika Uni Eropa terus melakukan kampanye hitam maka akan memberikan dampak secara langsung kepada kelompok petani sawit yang jumlahnya sekitar 30 juta.

Dampak yang dimaksud, kata Amran, kampanye hitam jika terus dilakukan maka akan menurunkan harga CPO. Ketika harga CPO turun, maka kelom­pok tani CPO yang jumlahnya 30 juta orang ini akan mencari pendapatan lain.

“Jika CPO ini turun harganya, komunitas petani ada 30 juta, ini bisa meninggalkan sawit, tapi sawitnya tetap, bergerak ke hutan untuk mencari pendapatan baru. Artinya merusak hutan, merambah hutan karena mencari kehidupan baru. Siapa yang bisa halangi kalau 30 juta bergerak,” tambahnya.

Lanjut Amran, pemerintah terus melakukan nego dengan beberapa negara Eropa soal resolusi sawit tersebut. Pe­merintah telah berbicara dengan Jerman, Spanyol dan Denmark.

“Kami sudah bicara, Kami sudah sampaikan, ada community di bawah CPO, ada pe­da­gang, petani, ini jauh le­bih penting. Orang utan saja di­per­hatikan, ini orang beneran. Jadi pendekatannya jangan deforestasi, tapi community welfare, kalau harga turun CPO karena mereka black campaign, yang terjadi hutan semakin rusak karena mereka tinggalkan (sawit), tidak mungkin sawitnya ditebang. Pasti bergerak ke hu­tan mencari sumber pendapatan baru,” ungkapnya.

Amran mengimbau, kepada seluruh eksportir yang melaku­kan pengiriman ke nega­ra-negara yang mengganggu ke­bijakan Indonesia soal CPO, maka harus dikurangi volume ekspornya.

“Untuk Indonesia, sekarang kita sudah mengalihkan CPO untuk biofuel, B20 7 juta, B30 13 juta. Kami himbau ke sel­uruh eksportir negara-negara yang mengganggu dikurangi ekspornya ke sana. Hitung-hitungan, ke Eropa berapa pasarnya, yang Prancis itu 200 ribu ton, enggak berpengaruh,” tutupnya. (dtf)

Close Ads X
Close Ads X