Strategi Kemenperin Dongkrak Industri Padat Karya

Jakarta – Produk industri dalam negeri dipacu agar lebih berdaya saing agar mampu menjadi pemenang perdagangan di kancah glo­bal sehingga Kementerian Perin­dustrian mengusulkan in­sentif berupa pemotongan pajak peng­hasilan (PPh) untuk industri padat karya yang berorientasi ekspor.

“Kami usulkan potongannya lima persen. Namun syaratnya adalah potongan tersebut di­gunakan untuk investasi, bukan untuk deviden, sehingga dapat mendorong ekspansi. Hal ini akan kami bahas dengan Ke­menterian Keuangan pada ming­gu depan. Bentuknya bisa tax allowance,” kata Menteri Pe­rin­dustrian Airlangga Hartarto usai Rapat Kerja Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu (22/2).

Airlangga melalui keterangan tertulis menyebutkan, industri padat karya berorientasi ekspor yang sedang didongkrak kinerjanya, antara lain sektor industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki, industri pengolahan ikan dan rumput laut, industri aneka (mainan anak, alat pendidikan dan olah raga, optik, alat musik), industri farmasi, kosmetik dan obat tradisional, serta industri kreatif (kerajinan, fashion, perhiasan).

Selanjutnya, industri barang jadi karet (ban kendaraan bermotor dan rethreading ban pesawat terbang), industri elektronik dan telematika (multimedia, software), industri furniture kayu dan rotan, serta industri makanan dan minuman (turunan CPO, olahan kopi, kakao).

Kemenperin mencatat, peda­gangan luar negeri In­do­nesia secara global, di­dominasi ke Asia sebesar 60,93 persen. Selanjutnya, ke Amerika sekitar 12,49 persen, Eropa 11,45 persen, Australia 11,07 persen, dan Afrika 3,51 persen. “Kami akan mendorong peningkatan ekspor produk industri Indonesia ke negara-negara Eropa dan memanfaatkan peluang ke Aus­tralia,” ujarnya.

Airlangga menyampaikan, beberapa negara yang in­dus­trinya cukup maju sangat protektif untuk melindungi pa­sar dalam negeri dengan menerapkan banyak instrumen Non Tariff Measures (NTMs).

“Indonesia masih terbilang terbuka, karena secara total NTMs tahun 2016, Indonesia hanya menerapkan 272 pos tarif. Sedangkan, Uni Eropa sebanyak 6.805, Amerika Serikat 4.780, Tiongkok 2.194, dan Jepang 1.294 pos tarif,” sebutnya.

Untuk itu, lanjut Airlanga, pihaknya bersama kementerian terkait lainnya akan lebih mem­perhatikan pemanfaatan NTMs sebagai proteksi per­dagangan produk domestik, agar tetap kompetitif baik di pasar dalam dan luar negeri.

“Salah satunya melalui anti dumping. Indonesia saat ini baru menerapkan anti dumping sekitar 48 pos tarif, sedangkan Uni Eropa sebanyak 287, Amerika Serikat 229, Tiongkok 101, dan India 280 pos tarif,” ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo meminta kepada kementerian terkait untuk menurunkan rata-rata tarif bea masuk impor, khususnya bahan baku yang akan digunakan pada produk ekspor. Minimal tarifnya setara dengan Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan rata-rata tarif 6-2 persen. Saat ini, bea masuk Indonesia ber­kisar delapan persen, tergolong setara dengan Tiongkok yang rata-rata 10 persen dan India 12 persen.

“Hal ini diharapkan pula semakin menguatkan pro­duk­tivitas industri dalam negeri. Selain itu, produk bisa lebih berdaya saing dengan negara tujuan ekspor,” tegasnya.

Dongkrak Ekspor Menurut Airlangga, untuk mendongkrak nilai ekspor, juga akan dilakukan melaui perjanjian kerja sama bilateral seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).

“Kami berharap investasi di sektor industri dapat bertambah, termasuk kami telah bahas mengenai kerja sama dengan Amerika, Perancis, Tiongkok dan Jepang,” tuturnya.

Pada tahun 2016, ekspor produk industri non-migas mencapai USD 109,76 miliar atau naik sebesar 1,07 persen jika dibandingkan periode tahun 2015 sebesar USD 108,60 miliar. “Ekspor produk industri ini memberikan kontribusi sebesar 76 persen dari total ekspor nasional tahun 2016 yang sebesar USD 144,43 miliar,” ujar Airlangga.

Sedangkan, nilai impor produk industri non-migas tahun 2016 sebesar USD 108,26 miliar atau turun sebesar 1,14 persen, jika dibandingkan periode tahun 2015 sebesar USD 109,51 miliar. Jadi, neraca perdagangan In­donesia masih surplus sebesar USD 1,50 miliar.

Di tingkat ASEAN, Menperin mengungkapkan, beberapa produk industri nasional yang telah unggul, antara lain produk pupuk urea, kaca lembaran, keramik, bubur kertas (pulp) dan kertas, tekstil dan serat sintetis, serta kakao Indonesia yang mampu menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara.

Sementara, produk ban, otomotif, olekimia, dan baja atau logam menempati peringkat kedua di Asia Tenggara.

Sementara itu, pertumbuhan cabang industri non-migas yang tertinggi pada tahun 2016 dicapai oleh industri makanan dan minuman sebesar 8,46 persen.

Selanjutnya, diikuti industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 8,15 persen, industri kimia, farmasi dan obat tradisional sebesar 5,48 persen, industri barang galian bukan logam sebesar 5,46 persen, serta industri mesin dan perlengkapan sebesar 5,05 persen. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut melampaui pertumbuhan ekonomi tahun 2016.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X