Perusahaan Tidak Bangun Smelter Ditinjau Ulang

Jakarta – Lebih dari 15 juta ton nikel kadar rendah dan bauksit bakal diekspor menyusul dibukanya kembali ekspor mineral mentah.

Ini berbanding terbalik dengan semangat pembangunan smelter di dalam negeri yang sangat bergantung pada jaminan pasokan mineral mentah.

Pengamat ekonomi pertambangan dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengungkapkan, argumen paket kebijakan relaksasi ekspor mineral adalah meningkatkan pendapatan negara dan mendorong pertumbuhan perekonomian dengan membuka pintu ekspor mineral mentah sulit diterima. Kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat Pasal 103 dan 170 di UU Minerba yang kedudukannya lebih tinggi dan menetapkan Tahun 2014 sebagai deadline.

Melalui ekspor mineral mentah, Indonesia hanya memperoleh pendapatan dari bea keluar dan royalti. Sementara itu, nilai tambah dari produk turunan bahan mineral mentah dan perluasan lapangan pekerjaan dinikmati negara lain. Belum lagi kerusakan lingkungan yang terjadi karena eksploitasi bentang alam oleh praktik tambang yang tidak ramah lingkungan.

”Indonesia perlu melihat manfaat jangka panjang dan nilai tambah yang berkesinambungan dari pengolahan dan pemurnian mineral untuk kepentingan nasional. Jika tidak memenuhi persyaratan, sebaiknya tidak usah diberi izin ekspor,” ujarnya.

Demikian juga Pengamat Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menambahkan, mengacu pada amanat UU Minerba, izin ekspor mineral mentah bagi perusahaan yang belum membangun smelter sebagai tindakan ilegal. Pada periode 2014 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2015 yang memberi dispensasi ekspor produk olahan selama tiga tahun. Dispensasi ekspor tersebut ternyata tidak dimanfaatkan perusahaan untuk membangun smelter.

(oz)

Close Ads X
Close Ads X