Pemerintah Punya Alasan Kuat Menasionalisasi Freeport

Padang – Pengamat hukum Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat, Miko Kamal Phd menilai jika PT Free­port tidak mematuhi aturan hu­kum Indonesia maka pemerin­tah punya alasan hukum yang kuat dan rasional untuk me­nasionalisasi perusahaan ter­sebut.

“Kalau Freeport terus me­maksakan kehendak atau tidak mematuhi hukum Indonesia Indonesia, dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945, dan UU No 4 Tahun 2009, serta prinsip mematuhi hukum domestik yang harus dihormati oleh perusahaan-perusahaan Amerika, maka argumen hukum menjadi kuat dan rasional untuk melakukan nasionalisasi terhadap Freeport,” kata dia di Padang, Rabu (22/2).

Ia mengatakan, pemerintah Indonesia di bawah kepemim­pinan Presiden Joko Widodo berkewajiban menguasai seluruh sumber daya alam yang ter­kandung di dalam bumi In­donesia untuk kemaslahatan bangsa, sebagaimana yang dimanatkan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.

Oleh sebab itu pemerintah Indonesia memiliki kewajiban menegakkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ujar dia.

Menurutnya salah satu ciri penegakkan hukum adalah mem­berlakukan hukum secara se­tara sebagaimana yang ter­maktub di dalam Pasal 170 UU Nomor 4 Tahun 2009, se­tiap pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 tahun setelah UU Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan. “Sebagai wujud kesetaraan penerapan hukum, PTFI harus tunduk kepada atu­ran ini,” kata dia.

Kemudian kewajiban pe­merintah Indonesia me­nera­pkan hukum secara adil dan setara sejalan dengan kewajiban PTFI sebagai entitas hukum yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Freeport-McMoran untuk tunduk kepada hukum domestik dimana investasi dila­kukan, lanjut dia.

Hal itu termaktub di dalam Declaration on International Investment and Multinatio­nal Enterprises negara-negara yang tergabung di dalam the Organisation for Economic Co­opra­tion and Development (OE­CD), tepatnya poin nomor 2 OECD Guidelines for Multinatio­nal Enterprises bagian Concepts and Principles yang berbunyi obeying domestic laws is the first obligation of enterprises atau mematuhi hukum domestik adalah kewajiban utama pe­rusahaan, katanya.

Oleh sebab itu, lanjut dia, mematuhi hukum yang berlaku adalah prinsip salah satu prinsip universal perjanjian yang dikenal dengan legality principle.

Pada sisi lain ia melihat sikap PTFI yang tidak mematuhi hu­kum Indonesia dan berencana membawa persoalan yang me­reka hadapi tersebut ke forum arbitrase internasional sungguh sangat disayangkan.

“Pasalnya, hal itu bertolak belakang de­ngan prinsip Declaration on International Investment and Multinational Enterprises yang seharusnya harus dijunjung tinggi oleh perusahaan-peru­sahaan yang berbasis di Amerika sebagai pionir OECD,” katanya

Ia mengatakan, mengacu pada Declaration on Internatio­nal Invesment and Multinational Enterprises, pemerintah In­donesia berada pada posisi yang kuat ketika berunding dengan pihak Freeport ataupun menghadapi gugatan di arbitrase internasional.

Oleh karena itu pemerintah harus senantiasa memosisikan kepentingan rakyat Indonesia di atas kepentingan lainnya dalam perundingan dengan pihak Free­port, dan tidak menolak tunduk kepada kemauan asing semata.

Akan tetapi ia berharap kisruh antara PT Freeport Indonesia dengan pemerintah mestinya diselesaikan secara baik-baik dengan mengedepankan ke­pentingan rakyat Indonesia dan tidak merugikan Freeport.

Sejalan dengan itu, se­be­lumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Freeport Indonesia untuk menghormati aturan yang ada di Tanah Air terkait perdebatan perubahan status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.

Menurut Luhut posisi pe­merintah jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun.

“Freeport harus menyadari ini adalah B to B (business to business) jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah ham­pir 50 tahun di sini jadi mereka juga harus menghormati undang-undang kita,” katanya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, me­nga­takan PT Freeport Indonesia tidak adil terhadap pemerintah Indonesia karena tidak mau menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK).

“Pemerintah memberikan solusi yaitu memberikan alter­natif ke pemegang Kontrak Karya. Bila mereka tetap berpegang pada KK itu boleh asalkan ti­dak melanggar Pasal 170 UU Minerba. Tapi kalau mereka mau tetap ekspor tentu boleh tapi harus bersedia merubah diri menjadi IUPK,” ujar Hikmahanto.

Hikmahanto mengatakan IUPK ini kan diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba, meskipun ada keharusan hilirisasi namun tidak ada ketentuan waktu 100 persen pemurniannya kapan.

“Nah kalau melihat itu kan sebenarnya pemerintah sudah berbaik hati untuk beri solusi bagi pemegang KK. Pemerintah tidak diskriminatif. Ada yang tetap pegang KK tapi mereka bangun smelter seperti Vale Indonesia. Tapi ada juga yang mengubah diri menjadi IUPK seperti PT Amman Mineral (dulu Newmont). Bahkan pemerintah harus berkorban karena dikritik bahkan PP 1 2017 dibawa ke MA utk diuji materi,” kata dia.

Ia mengungkapkan ke­ga­duhan terkait Freeport se­muanya berpangkal pada pasal 170 UU Minerba yang menyebutkan bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian di da­lam negeri atau tidak bisa eks­por bahan mentah ataupun konsentrat.

“Harusnya kan jatuh tempo pada 2014. Nah pada saat itu Freeport dan pemegang KK meminta perpanjangan karena tidak siap. Akhirnya dikasih perpanjangan untuk 3 tahun dengan catatan harus bayar bea keluar,” kata dia.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X