Gutta Percha Primadona yang Dilupakan

114112_percha2

114124_percha4

031255400_1417699183-gutta_thumb

percha

Rubber tree at sunrise in mist
Tanaman satu ini tergolong langka di dunia. Gutta-percha, kini cuma ada di Indonesia. Sempat menjadi komoditi primadona dan diburu saat Perang Dunia II, tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi ini belakangan kembali melejit. Harga satu satu kilogram daun gutta percha cukup tinggi yakni mencapai US$ 300 (sekitar Rp 3,4 juta). Gutta Percha merupakan pohon penghasil getah lateks. Secara kimiawi, lateks gutta percha dan tanaman karet memiliki kandungan yang sama. Karenanya, pada saat Perang Dunia II terjadi, gutta percha pernah dipakai saat ketika stok suplai lateks dari tanaman karet sedang kosong. Lebih rinci, gutta-percha (Palaquium gutta) adalah sejenis tanaman tropika yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara hingga ke Australia Utara, dari Taiwan Utara hingga ke dan Kepulauan Solomon Selatan. Tanaman tersebut mempunyai nama lain sebagai: Getah Merah, Isonandra Gutta, Red Makasar, Gutta Seak dan Gutta Soh.
Hasil tanaman Gutta-percha adalah berupa getah yang diperoleh dengan cara ekstraksi daun atau penyadapan pohon. Getah tersebut memiliki sifat-sifat yang cocok untuk digunakan sebagai bahan instalasi kabel dasar laut, pelapis bola golf, campuran gips untuk pembalut tulang, perawatan gigi dan pembuatan gigi palsu, serta dipakai juga sebagai bahan pembuatan furniture.
Gutta-percha termasuk famili Sapotaceae, dan secara lengkap memiliki klasifikasi ilmiah yang termasuk kedalam Kerajaan Plantae; Ordo Ericales; Family Sapotaceae; Genus: Palaquium Blanco. Pohon Gutta-percha memiliki ketinggian sekitar 5–30 meter dengan diameter lebih dari 1 meter. Pohon ini berdaun rimbun berwarna hijau kekuningan. Memiliki bunga berwarna putih berukuran kecil-kecil dalam satu kuntum. Memiliki buah berukuran 3–7 cm yang berisi 1–4 biji, tapi pada beberapa jenis species tidak nampak memiliki buah.
Sejarah
Gutta Percha diperkenalkan pertama kali di Eropa oleh William Montgomery, tahun 1843. Gutta Percha baru memasuki pasaran dunia sekitar tahun 1856 setelah diketahui memiliki sifat-sifat yang cocok sebagai bahan insulasi kabel dasar laut. Pada suhu biasa, Gutta Percha merupakan benda keras, sedikit sekali merentang. Namun ketika dipanaskan pada suhu 650C, material yang diperoleh dari pohon Palagulum Oblongifolium Burck ini menjadi lunak dan dapat dikepal-kepal tangan untuk membentuk apapun.
Tahun 1856 hingga 1896, penggunaan Gutta Percha di dunia untuk insulasi kabel dasar laut sudah mencapai 16.000 ton yang direntangkan sepanjang 184.000 mil laut di sekitar pantai Benua Amerika, Eropa, Asia, Australia, pantai timur dan barat Afrika, dan sepanjang antar samudera. Sekitar tahun 1885, D.E.I. Government melakukan penelitian di Perkebunan Cipetir, saat Afdeling III Perkebunan Sukamaju dengan menanam beberapa varietas pohon Gutta Percha yang kemudian diseleksi.
Sekitar tahun 1901, karena peningkatan kebutuhan akan Gutta Percha, dan dinilai pengalaman yang cukup pada penanaman percobaan sebelumnya, maka Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun Perkebunan Negara Gutta Percha Cipetir dengan menanam tanaman produksi Gutta Percha. Tahun 1901 hingga tahun 1906, terjadi penambahan seluas 1000 ha, yang kemudian pada tahun 1919 penanaman Gutta Percha diperluas lagi 250 ha. Total area Gutta Percha di Perkebunan Cipetir saat itu menjadi sekitar 1.322 ha.
Tahun 1914, Perkebunan Cipetir masuk ke dalam Lands Caoutchouch Bedrijf (LCB), perusahaan perkebunan negara milik Belanda. Masih pada tahun yang sama, Pemerintah Belanda kemudian membangun pabrik Gutta Percha atas prakarsa Tromp de Haas. Namun selama tujuh tahun, pembangunan pabrik ini sempat terbengkalai. Pada tahun 1921, pabrik Gutta Percha dapat diselesaikan oleh H. Van Lennep, yang saat itu menjabat sebagai Administratur Perkebunan Cipetir.
Gutta percha termasuk jenis komoditas spesifik yang diduga saat ini hanya bisa ditemui di Indonesia, yaitu di kebun Sukamaju Sukabumi yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), terlebih setelah perkebunan Gutta percha yang ada di Brazil dikonversi dengan tanaman lain. Tanaman ini juga tidak tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia karena pada masa awal tanam, yaitu tahun 1880-an ada larangan dari pemerintah Belanda agar tidak menanam Gutta percha selain di Kebun Sukamaju. Perkebunan Sukamaju berada di Kabupaten Sukabumi dimana PTPN VIII mengelola areal konsesi seluas 7.379,63 ha, yang terbagi atas enam afdeling, meliputi wilayah Cibadak, Cikidang, Bojong Genteng, Parungkuda, dan Kalapanunggal.
Perkebunan Sukamaju saat ini mengelola dua tanaman yang dibudidayakan yaitu Gutta Percha dan Kelapa Sawit. Luas areal penanaman Gutta Percha di perkebunan tersebut 282,88 ha, berlokasi di Afdeling III Cipetir.
Pengembangan
Gutta Percha dan Hevea Brasiliensis (karet) merupakan pohon penghasil getah lateks. Secara kimiawi, lateks Gutta Percha dan tanaman karet sama-sama memiliki kandungan Isoprena dan Caoretchina. Karenanya, pada saat Perang Dunia II terjadi, Gutta Percha pernah dipakai saat ketika stok suplai lateks dari tanaman karet sedang kosong.
Gutta Percha diperbanyak melalui biji yang diperoleh dari kebun biji khusus di Perkebunan Sukamaju. Tanaman sumber biji itu sendiri ditanam tahun 1885. Tanaman dengan tinggi yang bisa mencapai 30 m dan diameter 0,5 m ini menghasilkan Gutta putih, yakni getah yang diperoleh dari daun. Makin tua umur daun, makin tinggi kadar Guttanya. Dulu, bahan baku Gutta Percha diperoleh dari pohon Gutta Percha di hutan-hutan Sumatera, Riau, Bangka, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia.
Teknik pemanfaatan tanaman Gutta percha awalnya dipanen setelah berusia 15 tahun, yaitu dengan cara menebang pohon dan diambil getahnya yang berisi sekitar 1,5 kg getah. Cara-cara tersebut dipandang tidak efektif. Saat ini teknik pemanenan yang dikembangkan adalah dengan cara memangkas daunnya, karena kandungan Gutta ternyata banyak terdapat pada daun. Satu ton daun basah diperkirakan bisa menghasilkan getah Gutta sebanyak 12-13 kg.
Data Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2007 menunjukkan permintaan Gutta Percha trennya terus meningkat. Awal tahun 2008 harga Gutta Percha mencapai Rp1,5 juta/kg dengan permintaan mencapai 2.160 kg, namun kondisi tersebut belum dapat dimanfaatkan PTPN VIII karena kebutuhan bahan baku yang terbatasdan dan hanya mampu memproduksi 108 kg saja.
Pangsa pasar Gutta Percha PTPN VIII lebih ditujukan ke pasar ekspor. Permintaan datang dari berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jerman, Amerika, Kanada, Hongkong, Australia, Italia, Perancis, dan Irlandia. Pada tahun 2006 harga jual Gutta percha adalah Rp 475.000,-/kg, sedangkan pada awal tahun 2008 mencapai sekitar Rp 1.500.000,-/kg. Kondisi tersebut sangat menarik untuk mengembangkan Gutta percha. Berdasarkan data Ditjenbun tahun 2007 menunjukkan bahwa trend permintaan sejak tahun 2004 semakin meningkat, sedangkan penawaran semakin menurun. Kondisi yang ekstrem terjadi pada tahun 2007, yakni permintaan sebanyak 2.160 kg, namun penawaran hanya mencapai 108 kg. Data statistik perkebunan hingga saat ini mencatat potensi tanaman Gutta Percha seluas 417 Ha yang merupakan bagian dari data luas perkebunan negara di Kabaten Sukabumi. Adapun mengenai data produksinya sejak tahun 2012 sudah tidak ada lagit

Close Ads X
Close Ads X