Garam Industri Mulai Langka

Seorang petani memanen garam di tambak miliknya di Kawasan Penggaraman Talise Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (19/3). Pemerintah menargetkan total produksi garam rakyat pada tahun 2017 ini sebesar 3,2 juta ton lebih rendah dari target tahun lalu yang mencapai 3,6 juta ton. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pd/17.

Jakarta – Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia atau AIPGI mendesak pemerintah untuk melakukan upaya serius guna mewujudkan swasembada garam nasional. Langkah ini terutama untuk memenuhi ke­butuhan in­dustri.

Pasalnya, dalam waktu dekat ini sejumlah produsen garam industri mulai gulung tikar akibat nihilnya bahan baku.

Sekretaris Jenderal DPP Aso­siasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengungkapkan, pada tahun ini Indonesia masih akan bergantung pada garam impor setelah pada tahun lalu me­ngalami gagal panen akibat anomali cuaca. Di 2017, hingga April ini curah hujan masih tinggi.

“Kalau untuk garam konsumsi mungkin saja tercapai, tapi kalau industri tidak mungkin dengan melihat sejumlah indikator seperti faktor cuaca. Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor cuaca itu sangat tinggi pengaruhnya,” katanya, Selasa (4/4).

Selain itu, faktor teknologi. Selama ini, peralatan yang di­gunakan produsen garam nasional masih sangat se­der­hana sehingga akan sulit bisa menghasilkan garam yang ber­kualitas ditambah mayoritas petani garam bukan pemilik hanya penggarap.

Saat ini, luas lahan areal pe­tambak garam mencapai 126.064 hektare. Dalam kondisi cuaca bagus, garam yang dihasilkan dalam setahun hanya sebesar 1,9 juta ton. Sedangkan kebutuhan garam nasional 4,23 juta ton.

“Kalau mau swasembada ha­rus melakukan ekstensifikasi dengan memperluas lahan ga­ram yang ada digarap. Mungkin akan nambah. Kalau tidak, tidak mungkin apalagi cuaca buruk,” ucapnya.

Menurutnya, Indonesia me­mang memiliki garis pantai ter­panjang di dunia, tapi tidak semua bisa menghasilkan garam. Dia memberi contoh, Jabar menjadi salah satu provinsi yang memiliki pantai panjang, tapi garam tidak bisa dihasilkan dari Sukabumi, Garut, Tasikmalaya atau Cianjur.

“Katankanlah Indramayu, Karawang, Subang, Cirebon potensinya masih ada tinggal dikembangkan dan dibina. Yang ada tidak usah dibina karena mereka sudah paham dan mahir dalam produksi garam,” ucapnya.

Untuk mengejar kualitas, ka­­rakteristik petambak garam pun harus diubah. Sebaiknya para petani garam itu memanen garam setiap 10 hari sekali bukan dua atau tiga hari baru dipanen sehingga banyak tanah yang ikut terkeruk. Dengan kondisi tersebut akan sulit kalau harus bicara kualitas.

“Karena ketika bicara kualitas, maka bicara pasar. Kami asosiasi kitalah pembeli terbesar mereka. Pada medio 2016 kita sudah beli 1,6 juta ton. Tidak ada lagi yang mampu beli selain kami,” ujarnya.

Lebih lanjut dia me­nyam­paikan, untuk mengatasi ke­kosongan produksi garam da­lam negeri. Sesuai dengan Pe­raturan Menteri Perdagangan No. 125/2015 apabila terjadi musim cuaca yang ekstrim atau gagal panen, Menteri Kelautan dan Perikanan harus menyatakan gagal panen.

Pemerintah wajib menugas­kan BUMN yang bergerak di sektor tersebut dalam hal ini PT Garam untuk melaksanakan impor. Keti­ka mendapatkan rekomendasi, PT Garam dari KKP dan harus mendapatkan penugasan dari Kementerian BUMN untuk me­menuhi garam konsumsi.

“Dari kebutuhan per tiga bulan 216.000 ton, PT Garam dikasih tugas mengimpor 75.000 ton untuk garam konsumsi yang didatangkan dari Australia dan India,” ucapnya.

Selanjutnya, garam impor yang ada di PT Garam disebar luaskan ke produsen garam konsumsi dan dibagi per wilayah meskipun jumlahnya sangat kurang. Meski begitu, pemerin­tah membuka peluang impor lagi apabila stok yang ada dianggap sudah semakin menipis.

“Tahun ini tidak ada produksi garam karena cuaca sedang eks­trem. Begitu juga dengan garam industri. Garam industri sudah sangat sulit,” ucapnya.

STRATEGIS

Garam industri ini diklaim sangat strategis untuk pe­me­nuhan industri aneka pangan nasional seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Ajinomoto Indonesia dan lain sebagainya.

“Kita tahu, pendapatan nega­ra dari ekspor dari industri aneka pangan yang bahan bakunya garam untuk bumbu pada 2016 US$19 miliar. Apakah karena nggak ada garam mereka harus PHK karyawan, tutup pabrik atau pindah ke negara lain. Ini harus menjadi pertimbangan matang pemerintah tentang kelangsungan usaha dan per­tumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya.

Dia menyebutkan, kebutuhan industri aneka pangan terhadap garam mencapai 450.000 ton setahun. Sebuah nilai yang kecil apabila melihat devisa yang di­hasilkan. Izin impor garam industri memang telah dikeluarkan oleh pemerintah, tapi itu kuotanya hanya untuk memenuhi kebutu­han hingga Juni mendatang atau 139.000 ton.

(bc)­

Close Ads X
Close Ads X