Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah tengah menjajaki peluang bergabung dengan perjanjian perdagangan bebas di Asia-Pasifik yang digagas oleh Amerika Serikat (AS), atau yang lebih dikenal dengan Trans Pacific Partnership (TPP).
Senior Adviser for Economic & Public Policy AIPEG (Australia Indonesia Partnership for Economic Governance), Achmad Shauki, mengungkapkan bergabungnya Indonesia ke TPP akan membuat lonjakan impor pada beberapa sektor komoditas.
“Impor terbesar yakni impor barang modal berupa mesin dan kendaraan bermotor, kemudian impor bahan baku. Secara alamiah pasti ada peningkatan (impor),” katanya dalam diskusi Dampak TPP pada Perdagangan Barang di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (18/5).
Impor bahan baku, sambung Shauki, meliputi lain besi, besi baja, bahan kimia, gula, plastik, gula untuk makanan minuman, dan sebagainya. Perkiraan peningkatan impor bahan baku dan barang modal nilainya mencapai US$ 3,8 miliar.
“Secara alamiah pasti ada kontraksi. Karena kita nggak unggul buat produk padat modal, maka kita akan lebih banyak impor kaya mesin, barang durable, kendaraan bermotor dan lainnya. Kalau keunggulan kita kan di sektor padat karya,” ujarnya.
Sebagai informasi, TPP adalah pakta perdagangan antar-negara-negara di Asia Pasifik yang meliputi 12 negara, yaitu AS, Jepang, Brunei, Chile, New Zealand, Singapura, Australia, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vietnam.
Perjanjian tersebut diklaim sebagai perjanjian dagang paling komplit dan berstandar paling tinggi, termasuk mengatur hak kekayaan intelektual, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dengan investor asing. Negosiasi TPP disepakati antar-negara peserta pada 5 Oktober tahun lalu, namun masih memerlukan persetujuan parlemen masing-masing negara sebelum bisa berlaku. (dc)