Ekspor Udang Indonesia Unggul di Asean

Bandung | Jurnal Asia
Ekspor produk udang asal Indonesia masih paling besar di Asean, bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Sementara negara tujuan ekspor udang terbesar adalah Jepang dan Amerika Serikat. Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Thomas Darmawan menyatakan kebutuhan Jepang terhadap udang mencapai satu juta ton per tahun. Menurutnya, Indonesia baru dapat memenuhi sekitar 30% dari total kebutuhan udang Jepang atau baru mencapai 295.486 ton, dengan nilai transaksi US$284,664 juta.
“Produk udang kita unggul, dan tidak pernah ada isu-isu yang terbukti terkait ditolaknya produk udang asal Indonesia,” kata Thomas, Minggu (5/10).
Thomas mengatakan selama ini produk udang yang dihasilkan dari Cilacap bukan udang hasil tambak, melainkan berasal dari laut sehingga tidak mengandung antibiotik. “Tahun ini ekspor udang dari Cilacap tetap normal seperti biasa,” kata Thomas.
Pihaknya mengungkapkan penolakan produk udang yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang tersebut sebenarnya berasal dari grup Toxindo yang berasal dari India.
Di sisi lain, lanjutnya, pihaknya menyayangkan rendahnya penyerapan pasar domestik terhadap produk hasil laut yang hanya 30 kg per kapita. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya produk hasil laut yang diekspor. “Anggota asosiasi lebih banyak mengekspor, dari total produksi hanya 10% yang diserap pasar domestik sisanya diekspor,” ujarnya.
Kondisi ini dinilai ironis, mengingat konsumsi hasil laut negara Asean rata-rata 70 kg per kapita. Ekspor hasil laut Indonesia sekitar 2.000 ton per tahun.
Selain itu, AP5I menilai penerapan Undang-undang Kelautan dapat meningkatkan kesiapan mereka dalam menerapkan Standar Nasional Indonesia untuk produk ikan. Dia mengatakan industri perikanan harus mampu menyesuaikan dengan keluarnya UU Kelautan tersebut guna meningkatkan daya saing baik di dalam negeri maupun luar negeri.
“Adanya aturan itu diharapkan mampu meningkatkan produk perikanan, sehingga harganya bisa terjangkau dan menjamin ketersediaan produk di pasar global maupun lokal,” kata Thomas.
Meski demikian, dia berharap agar penerapan SNI ini implementasinya tidak memberatkan dan menjadi beban bagi kalangan pelaku usaha baik sisi biaya maupun pada saat dilakukan audit oleh tim sertifikasi. Secara terpisah, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menilai potensi eksploitasi ikan berkelanjutan di Indonesia bernilai 6,26 juta ton/tahun. Sekretaris Jenderal SNI, Budi Laksana, mengatakan fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis.
“Sumber daya ikan yang hidup di wilayah perairan Indonesia dinilai memiliki tingkat keragaman hayati (bio-diversity) paling tinggi. Sumber daya tersebut paling tidak mencakup 37% dari spesies ikan di dunia,” katanya.
Di wilayah perairan laut Indonesia terdapat beberapa jenis ikan bernilai ekonomis tinggi antara lain tuna, cakalang, udang, tongkol, tenggiri, kakap, cumi-cumi, dan ikan-ikan karang. Namun, katanya, kebijakan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan belum berhasil menyelesaikan permasalahan kemiskinan nelayan secara mendasar.
Dia menjelaskan kemisikinan nelayan selama ini juga terjadi salah satunya karena alih teknologi yang kurang tepat dimana program bantuan kapal seringkali tidak tepat sasaran dan akselerasinya terlalu cepat. “Hal ini menyebabkan nelayan yang biasa mengunakan kapal ukuran kecil dipaksa untuk mampu mengelola kapal berukuran besar, yang dampaknya pada pengelolaan yang tidak maksimal dan menyebabkan program itu menjadi sia–sia,” ungkapnya. (bc)

Close Ads X
Close Ads X