Demand and Supply Tak Seimbang, Paradoks Kebijakan Impor

Ilustrasi tanaman padi

Penulis : Pengamat Ekonomi dan Ketua Tim Pemantau Harga Pangan Sumatera Utara, Gunawan Benjamin

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah kita kerap melakukan kebijakan impor untuk memenuhi sejumlah kebutuhan pangan pokok katakanlah beras. Kebijakan impor diambil sebagai langkah yang paling efektif dalam meredam gejolak harga. Nah kebijakan terkait dengan impor beras tersebut saya tentunya menuai pro dan kontra.

Posisi kontra selalu datang dari petani pastinya. Tetapi konsumen dalam hal ini tentunya sangat diuntungkan. Tetapi apa yang melandasi sehingga pemerintah cenderung mengambil tindakan impor sementara beras atau padi bisa tumbuh subur di negeri ini?.

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana mungkin harga beras impor bisa meredam gejolak harga beras di tanah air?. Berarti kesimpulannya adalah harga beras impor memang lebih murah.

Pertanyaan tersebut mucul di logika masyarakat awam terkait dengan kebijakan pengendalian harga di tanah air. Bukan hanya beras, tetapi sejumlah harga kebutuhan pangan lainnya juga kerap dilakukan dengan cara impor.

Tetapi dalam konteks ini saya tertarik untuk membahas masalah beras lebih mendetail, untuk membandingkan bagaimana terjadi ketidak seimbangan persediaan dan permintaan bahan kebutuhan pokok di tanah air.

Berdasarkan data dari Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan, 200 Ha luas areal tanaman pertanian di negara maju itu dikuasai hanya satu orang. Sementara di Indonesia, lahan sebesar itu bisa dimiliki oleh ribuan orang.

Bahkan di USA ada Rice farming Family of Arkansas yang juga membudidayakan tanaman padi. Di mana untuk satu family farming di Arkansas menguasai hingga 7.000 Ha lahan pertanian padi.

Pengelolaan lahan seluas itu dikerjakan oleh sekelompok petani dalam suatu wilayah setingkat desa. Selebihnya banyak ditopang oleh teknologi canggih yang membantu operasional petani.

Sehingga ada perkembangan yang linier antara pengembangan sektor pertaniannya dengan pengembangan industri. Hal inilah yang mampu menekan biaya operasional sehingga produk pertanian yang dihasilkan dari negara maju cenderung lebih murah.

Namun, bagaimana bisa lebih murah?. Hasil survey yang saya lakukan terhadap sejumlah petani beras di wilayah Sumatera Utara. Saya menemukan bahwa lahan sekitar 0.2 Ha itu dikuasai rata-rata oleh 1 orang petani.

Sementara petani yang memiliki setidaknya 0.5 Ha lahan itu jumlahnya sangat sedikit sekali. Dalam mengelola lahannya itu dilakukan dengan cara borongan.

Artinya setiap ada pengerjaan lahan tertentu petani nantinya akan menyewa sejumlah buruh tani. Katakanlah saat membajak, menanam atau panen. Umumnya petani mempekerjakan beberapa buruh tani untuk membantu pekerjaan petani tersebut.

Pada saat melakukan panen, petani umumnya menggunakan buruh tani untuk memanennya. Biaya yang dikeluarkan sekitar 110 ribu hingga 150 ribu untuk setiap rante (400 meter persegi). Dari hasil panen tersebut, petani mendapatkan harga gabah kering giling sekitar 5.000 per Kg nya. Jika dikonversi ke beras dengan rendeman 57%, maka rata-rata harga beras paling murah itu sekitar Rp7.850 hingga Rp8.200 per Kg.

Angka rendeman kita dapatkan dari survey yang dilakukan oleh sejumlah kilang di wilayah pantai labu Deli Serdang. Harga beras sebesar itu tidaklah mungkin.

Rata-rata kilang akan menaikkan harga beras, karena membebankan biaya produksi plus kemasan dan distribusi. Harga beras medium di sejumlah wilayah deli serdang itu sekitar Rp9.800 per Kg.

Di tingkat konsumen akhir harga beras itu dijual dikisaran Rp110 ribu per Kg saat ini. Nah coba kita bandingkan dengan harga beras dari Thailand. Harga beras di Thailand saat ini sekitar $400 per Ton (Desember 2018).

Mengacu kepada harga beras di bursa yang ditampilkan oleh www.indexmundi.com. Jika dikalikan dengan kurs 14.200 maka didapat harga beras di Thailand itu sekitar Rp5.680 per Kg. Belum ditambah biaya yang lain-lain hingga sampai ke tanah air (FOB Bangkok).

Meskipun jenis beras itu beragam dan memiliki varian harganya masing-masing. Namun beras yang dibicarakan adalah beras yang umumnya dikonsumsi masyarakat di Indonesia. Dengan spesifikasi beras medium ke premium yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat kita. Karena memang pada dasarnya beras ini memiliki varian yang banyak sehingga memiliki varian harga yang banyak pula.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagimana harga beras di negara lain menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga beras di tanah air?.

Tak lain adalah adanya regulasi yang kuat serta dukungan kepada pengembangan industry pertanian yang signifikan. Penerapan teknologi tinggi, subsidi, penguasaan lahan akan membuat daya saing beras tadi mengalami peningkatan.

Di saat mampu bersaing, maka negara lain akan cenderung menjadikan industri beras tadi menjadi industri dengan orientasi ekspor. Artinya negara yang memiliki keunggulan tersebut akan menjadikan negara tersebut sebagai negara yang memiliki persedian bahan pangan pokok melimpah. Dalam bahasa kita menyebutnya swasembada, namun di negara lain mereka menyebutnya sebagai food state.

Keberhasilan mereka dalam menciptakan food state tersebut tidak terlepas dari upaya konkrit yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Namun di Indonesia, kita masih menemukan sejumlah masalah untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Walaupun upaya untuk mengejar ketertinggalan tadi sudah terlihat upayanya dalam 3 tahun terkahir belakangan.

Salah satu masalah petani kita adalah mahalnya biaya buruh tani yang sebenarnya bisa digantikan dengan mesin. Salah satu contoh adalah mesin untuk menanam padi, traktor pengolah lahan serta alat pemanen.

Saat panen menggunakan mesin pemanen, biaya yang dikeluarkan oleh petani sekitar 90 ribu saja per rante nya. Dengan waktu pengerjaan yang lebih cepat dan efisien. Jelas lebih murah dan terukur dibandingkan dengan penggunaan tenaga manusia.

Tetapi di masyarakat kita, penggunaan teknologi pertanian seperti itu kerap mendapatkan resistensi karena buruh tani justru kehilangan pekerjaannya. Disisi lain, menggunakan mesin jelas lebih murah dan efisien dalam banyak hal dibandingkan dengan penggunaan tenaga manusia. Tetapi menggunakan mesin spenuhnya justru berakibat pada potensi terciptanya angka pengangguran.

Selanjutnya adalah swasembada yang digaungkan oleh pemerintah. Upaya swasembada memang terlihat berkembang seiring dengan pembangunan infrastruktur dasar yang dibutuhkan oleh lahan pertanian. Salah satunya adalah upaya dalam membangun infrastruktur irigasi yang berhasil membuat lahan pertanian menjadi lebih produktif. Dimana lahan yang sebelumnya tadah hujan, hanya menanam padi di musim tertentu (hujan). Saat ini dengan kehadiran irigasi tersebut lahan sawah dapat produktif setiap tahunnya (sekitar 3 kali panen).

Upaya tersebut memang akan menambah sisi persediaan akan kebutuhan pokok masyarakat. Sekalipun yang menjadi pertanyaan apakah disaat kita swasembada nantinya kita tidak membutuhkan impor lagi?. Khususnya saat terjadi kenaikan harga beras di tanah air. Tentunya semuanya akan kembali pada kebijakan pemerintah.

Namun yang menjadi fokus kita kedepan adalah bahwa harga produksi beras di negara lain itu memang lebih efisien sehingga harganya bisa lebih murah. Nah daya tarik lebih murah ini kerap memaksa kita untuk mengambil jalan pintas dalam menstabilkan harga.

Belum lagi kita bermasalah pada lahan pertanian yang semakin tahun semakin mengecil. Data BPS menunjukan luas baku lahan sawah di tahun 2013 sebesar 7.79 juta Hektar. Di akhir tahun 2018 turun menjadi 7.1 juta Hektar. Peralihan lahan sawah menjadi pemukiman ataupun industri menjadi pemicu menurunnya luas areal lahan tersebut.

Sementara di negara maju, perkembangan teknologi membuat jumlah pekerja di sektor pertanian semakin menurun, akan tetapi luas areal lahannya justru mengalami peningkatan. Banyak kebutuhan pokok kita yang lainnya yang didatangkan dengan cara diimpor.

Dibutuhkan keseriusan mulai dari regulasi terkait lahan, penerapan teknologi, pengembangan sumber daya manusia hingga insentif lain yang dibutuhkan petani.

Close Ads X
Close Ads X