Berebut Dana Tax Amnesty | OJK: Tak Perlu ‘Perang’ Suku Bunga

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon (kedua kanan) bersama Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida  (kanan), Direktur Utama Bank Mandiri Kartiko Wirjoatmodjo (kedua kiri) dan Direktur Utama BRI Asmawi Syam mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi XI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/7). Rapat tersebut membahas tindak lanjut program UU tax amnesty atau pengampunan pajak. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/16
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon (kedua kanan) bersama Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida (kanan), Direktur Utama Bank Mandiri Kartiko Wirjoatmodjo (kedua kiri) dan Direktur Utama BRI Asmawi Syam mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi XI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/7). Rapat tersebut membahas tindak lanjut program UU tax amnesty atau pengampunan pajak. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/16

Jakarta – Indonesia diperkirakan akan kebanjiran dana repatriasi hasil program pengampunan pajak alias tax amnesty. Perbankan yang ditunjuk jadi bank persepsi pun diminta tidak berebut dana segar ini.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Perbankan, Nelson Tampubolon, mengaku tidak khawatir terjadi ‘perang’ suku bunga di antara para bank per­sepsi. Sebab, dana yang masuk akan besar sekali dan bisa dibagi-bagi.

“Tidak perlu (perang suku bunga). Suplai dana besar. Tidak perlu berebut,” kata Nelson usai raker dengan Komisi XI di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Se­latan, Rabu (20/7). Dengan demikian, kata Nelson, OJK tidak perlu mengeluarkan aturan baru untuk mengatur suku bunga perbankan dalam menyerap dana hasil tax amnesty ini. “OJK tidak perlu atur suku bunga. Kuncinya di pengawas,” jelasnya.

Nelson menambahkan, OJK juga memastikan dana repatriasi akan tinggal di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu. Sistem pengawasan akan diperketat untuk memastikan hal tersebut.
“Pokoknya itu harus dibuat tidak bisa (dana pergi ke luar negeri).

Karena kalau sampai terdeteksi sanksinya berat. Bisa sanksi dari Kemenkeu, unsur pengampunan dicabut. OJK juga bisa mengenakan sanksi kepada industri jasa keuangan yang membantu,” ucapnya.

Koordinasi Dengan Dirjen Pajak
Sementara itu, Pusat Pela­poran dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) akan beker­­jasama dengan dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan untuk memastikan dana tax amnesty yang masuk ke Indonesia tidak bercampur dengan uang hasil tindak kejahatan pidana dan pencucian uang.

Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) , Agus Santoso me­­ngatakan kerjasama teknis antara Dirjen Pajak dan kementerian terkait ini masih akan dibahas lebih lanjut.

“PPATK akan mendukung im­ple­mentasi Undang-Undang Tax Amnesty dan akan menjadi mitra Dirjen Pajak, untuk memastikan bahwa dana repatriasi akan tetap berada di Indonesia selama masa holding periode selama tiga tahun,” ujar Agus, kemarin.

PPATK, menurut Agus, akan memastikan uang yang masuk lewat tax amnesty tidak akan bercampur dengan dana hasil kejahatan pidana dan pencucian uang. Hal ini karena menurut Agus, sudah menjadi perhatian PPATK dan tim implementasi tax amnesty supaya program ini tetap sejalan dengan semangat internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dan terorisme.

Sebelumnya beberapa pihak termasuk bankir, mempertanya­­kan dana yang akan masuk melalui tax amnesty apakah harus melalui screening dulu melalui PPATK. Hal ini karena berdasarkan regulasi, setiap dana yang masuk ke Indonesia minimal Rp 500 juta harus melalui deteksi dan saringan dari PPATK. Selain itu, PPATK juga akan mendeteksi apakah dana tersebut merupakan hasil tindak pidana.

Relaksasi Aturan
Di tempat terpisah, Direktur Utama PT Bank Tabungan Ne­­gara (Persero) Tbk Maryono mengusulkan adanya relaksasi aturan atau kemudahan bagi perbankan dalam menampung dan mengelola dana repatriasi dari hasil kebijakan tax amnesty.

Menurut Maryono, masa ber­la­­ku tax amnesty sendiri ha­nya berlaku sembilan bulan, se­mentara undang-undang biasanya dipakai dalam jangka waktu yang tidak singkat. “Kita perlu adanya kemudahan atau relaksasi dalam bentuk peraturan baru atau bentuk pasal lain karena sembilan bulan sudah selesai tax amnesty ini. Kalau undang-undang itu biasanya dipakai jangka panjang,” ujar Maryono saat rapat dengan Ko­misi XI di Jakarta, Rabu (20/7).

Maryono berharap adanya relaksasi dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) terkait kewajiban lapor dari perbankan jika ada transaksi nasabah yang mencurigakan.
Karena jika melaporkan da­­pat dianggap melanggar UU Pengampunan Pajak yang me­­nyebutkan dana tersebut tidak boleh diungkap kecuali kepada pihak yang ditunjuk Menteri Keuangan.

Sementara itu, ia juga meng­harapkan relaksasi dari Bank Indonesia terkait aturan lindung nilai (hedging) jika dana repatriasi yang masuk dalam bentuk valas. “Kami juga harapkan relaksasi terkait aturan private banking karena dana yang akan masuk jumlahnya besar dan dimiliki pribadi yang memiliki tingkat kekayaan yang cukup,” kata Maryono.

Kebijakan pengampunan pajak sendiri berlaku selama sembilan bulan mulai dari 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari uang tebusan program ter­sebut pada tahun ini mencapai Rp165 triliun. Adapun repatriasi dana tunai yang benar-benar akan masuk ke sistem keuangan nasional diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun. (dtc/kol/ant)

Close Ads X
Close Ads X