Jakarta – Pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia hampir selalu identik dengan kesan kumuh, kotor, dengan bau amis. Kondisi inilah yang coba perlahan diubah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Sjarief Wijaya, mengatakan buruknya fasilitas dan kebersihan pelabuhan nelayan ini tentu berimbas pada turunnya kualitas dan harga ikan.
Sjarief membandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan ikan di negara maju yang saking higienisnya, ikan dari tangkapan nelayan di pelabuhan bisa langsung dimakan mentah tanpa perlu dimasak.
“Saya selalu buat ujian ke kepala pelabuhan, bagaimana caranya makan ikan dari lantai pelabuhan? Kalau enggak sanggup makan ya bagaimana itu harus dibuat bersih. Di negara-negara maju lumrah ikan dimakan mentah, kalau kita makan ikan mentah bagaimana kalau lantainya begitu (kotor),” ucapnya di kantor KKP, Jakarta, Rabu (26/4).
Dari data KKP, saat ini ada 816 pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia yang meliputi dari skala paling besar yakni 7 pelabuhan perikanan samudra, kemudian 17 pelabuhan perikanan nusantara, 32 pelabuhan perikanan pantai, 12 pangkalan pendaratan ikan, 2 pelabuhan perikanan swasta, dan 746 pelabuhan belum memiliki kelas.
“Di Jepang ikan di pelabuhan bisa dimakan mentah karena higienis. Dari jumlah 816 pelabuhan perikanan itu, sebanyak 483 dianggap masih layak, sementara 333 pelabuhan tidak layak,” terang Sjarief.
Diungkapkannya, pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia umumnya berupa bangunan terbuka, akses keluar masuk tidak terbatas, dan fasilitas yang kurang lengkap seperti cold storage, air bersih, IPAL (pengolahan limbah), drainase dan instalasi lainnya.
Sementara dari sisi perilaku juga bisa dikatakan buruk antara lain seperti meletakan ikan di lantai, merokok, ikan dibiarkan di tempat terbuka, sampai membiarkan hewan seperti kucing dan anjing berkeliaran bebas di area penampungan ikan.
“Sisa makanan ada kucing dan anjing berebutan sama kita. Kaki juga bebas dari lumpur naik saja ke TPI, padahal di lantai ada ikan-ikan, ikan tuna padahal mahal tapi ditaruh di tempat panas di luar,” ucap Sjarief.
Dia melanjutkan, hal lain yang menjadi sorotan kementerian yang dipimpin Menteri Susi Pudjiastuti ini yakni jual beli ikan dengan cara yang cukup tradisional. Pihaknya pun berencana mengubah kebiasaan tersebut dengan membagikan keranjang ikan dengan ukuran tertentu sebagai standar ukur.
“Perilaku dagangnya ada yang jual ikan per kilogram, ada yang per tumpukan, ada yang per keranjang, ada yang per ekor, akhirnya tidak ada standar harga jualnya. Ini situasi yang harus diperbaiki di pelabuhan-pelabuhan perikanan kita,” jelas Sjarief.
Untuk revitalisasi pelabuhan nelayan, sambungnya, KKP menganggarkan alokasi anggaran di tahun 2017 sebesar Rp70,7 miliar yang meliputi 20 pelabuhan ikan milik daerah, dan 16 pelabuhan ikan yang dimiliki pusat.
Gandeng Marinir
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Sjarief Wijaya, mengatakan selain fasilitas yang memang kurang memadai, kondisi buruknya pelabuhan tempat sandar nelayan ini juga diakibatkan perilaku buruk orang yang ada di situ seperti menempatkan ikan di lantai, kaki bercampur lumpur, sampai membuang sampah dan merokok sembarang tempat.
Untuk mengubah perilaku buruk tersebut, kata Sjarief, pihaknya menjajaki kerjasama dengan instansi seperti Marinir untuk menegakkan kedisiplinan di area pelabuhan ikan.
“Kita jajaki dengan mitra kita, sudah ada dengan Marinir. Intinya kita coba adopsi satu model kedisiplinan untuk mengubah perilaku. Mitra-mitra bukan hanya Marinir saja, bisa dari TNI AL lain dan sebagainya,” ujarnya.
“Kita sedang jajaki kerjasama dengan Marinir masuk ke pelabuhan, tujuannya supaya bisa meletakkan kedisiplinan seperti jangan letakkan ikan sembarangan, jadi kita ubah perilaku dulu. Kita coba membentuk perilaku yang baik,” tambahnya.
Menurutnya, saat ini kerjasama dengan Marinir sudah dilakukan di Pelabuhan Nizam Zachman (Muara Baru), dan dimungkinkan untuk diterapkan di pelabuhan nelayan lain. Diungkapkannya, saat ini untuk penempatan Marinir di pelabuhan ikan lain sifatnya masih penjajakan.
“Pelan-pelan, nanti ke semua, sementara coba yang dikelola pusat, yang sudah di Pelabuhan Nizam. Ini kan mengajak ayo hormati nelayan, selama ini stereotipnya pelabuhan itu jorok dan baju seadanya, boleh mimpi enggak nelayan kita suatu saat bisa seperti ini,” tutur Sjarief sembari menunjukan gambar penampilan nelayan Jepang dalam presentasinya.
Diakuinya, meski sulit, mengubah image buruk pelabuhan nelayan yang sudah puluhan tahun bukan hal mustahil. Menegakkan kedisiplinan dengan bantuan Marinir hanya salah satunya.
“Kita coba adopsi dari pihak luar yang memang menerapkan kedisiplinan. Ingat 10 tahun lalu KRL kumuh dan jorok, banyak orang naik ke atap. Akhirnya bisa berubah kalau bener-benar dilakukan konsisten dan lama, bukan persoalan pakai tentara, enggak ada salahnya meniru,” ucap Sjarief.
Sementara untuk pelabuhan yang dikelola Pemda, sambungnya, salah satu yang bisa diupayakan yakni menempatkan Syah Bandar dari KKP di sana. Tujuannya untuk melakukan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan perikanan UPT Daerah.
“Kita sedang latih 200 Syah Bandar untuk seluruh Indonesia, saat ini kan jumlah Syah Bandar ada 160 orang yang kita miliki. Berarti akan nambah menjadi 360 orang. Ini kita targetkan akan ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan ikan di daerah, jadi Syah Bandar di daerah yang ditempatkan pusat di sana,” pungkas Sjarief. (dtf)