Puluhan Pelabuhan Kumuh Akan Dibenahi | KKP Kucur Rp70 Miliar

Suasana sepi aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan (6/2). Cuaca buruk disertai hujan dan angin kencang selama hampir dua pekan membuat sebagian besar nelayan mengurangi aktivitas melaut sehingga pasokan ikan berkurang drastis dari semula 2 hingga 5 ton sehari menjadi hanya satu ton. ANTARA FOTO/Dewi Fajriani/pd/17

Jakarta – Pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia hampir selalu identik dengan kesan kumuh, kotor, dengan bau amis. Kondisi inilah yang coba perlahan diubah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Sjarief Wijaya, mengatakan buruknya fasilitas dan kebersihan pelabuhan ne­layan ini tentu berimbas pada turunnya kualitas dan harga ikan.

Sjarief membandingkan de­ngan pelabuhan-pelabuhan ikan di negara maju yang saking higienisnya, ikan dari tangkapan nelayan di pelabuhan bisa lang­sung dimakan mentah tanpa perlu dimasak.

“Saya selalu buat ujian ke kepala pelabuhan, bagaimana caranya makan ikan dari lantai pelabuhan? Kalau enggak sang­gup makan ya bagaimana itu harus dibuat bersih. Di negara-negara maju lumrah ikan di­makan mentah, kalau kita ma­kan ikan mentah bagaimana kalau lantainya begitu (kotor),” ucapnya di kantor KKP, Jakarta, Rabu (26/4).

Dari data KKP, saat ini ada 816 pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia yang meliputi dari skala paling besar yakni 7 pelabuhan perikanan samudra, kemudian 17 pelabu­han perikanan nusantara, 32 pelabuhan perikanan pantai, 12 pangkalan pendaratan ikan, 2 pelabuhan perikanan swasta, dan 746 pelabuhan belum me­miliki kelas.

“Di Jepang ikan di pelabuhan bisa dimakan mentah karena higienis. Dari jumlah 816 pe­labuhan perikanan itu, sebanyak 483 dianggap masih layak, sementara 333 pelabuhan tidak layak,” terang Sjarief.

Diungkapkannya, pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indone­sia umumnya berupa bangunan terbuka, akses keluar masuk tidak terbatas, dan fasilitas yang kurang lengkap seperti cold storage, air bersih, IPAL (pengolahan limbah), drainase dan instalasi lainnya.

Sementara dari sisi perilaku juga bisa dikatakan buruk antara lain seperti meletakan ikan di lantai, merokok, ikan dibiarkan di tempat terbuka, sampai mem­biarkan hewan seperti kucing dan anjing berkeliaran bebas di area penampungan ikan.

“Sisa makanan ada kucing dan anjing berebutan sama kita. Kaki juga bebas dari lumpur naik saja ke TPI, padahal di lantai ada ikan-ikan, ikan tuna padahal mahal tapi ditaruh di tempat panas di luar,” ucap Sjarief.

Dia melanjutkan, hal lain yang menjadi sorotan kementerian yang dipimpin Menteri Susi Pudjiastuti ini yakni jual beli ikan dengan cara yang cukup tradisional. Pihaknya pun be­rencana mengubah kebiasaan tersebut dengan membagikan keranjang ikan dengan ukuran tertentu sebagai standar ukur.

“Perilaku dagangnya ada yang jual ikan per kilogram, ada yang per tumpukan, ada yang per keranjang, ada yang per ekor, akhirnya tidak ada standar harga jualnya. Ini situasi yang harus diperbaiki di pelabuhan-pelabuhan perikanan kita,” jelas Sjarief.

Untuk revitalisasi pelabuhan nelayan, sambungnya, KKP menganggarkan alokasi ang­garan di tahun 2017 sebesar Rp70,7 miliar yang meliputi 20 pelabuhan ikan milik daerah, dan 16 pelabuhan ikan yang dimiliki pusat.

Gandeng Marinir

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Sjarief Wijaya, mengatakan selain fasilitas yang memang kurang memadai, kondisi buruknya pelabuhan tempat sandar nelayan ini juga diakibatkan perilaku buruk orang yang ada di situ seperti menempatkan ikan di lantai, kaki bercampur lumpur, sampai membuang sampah dan mero­kok sembarang tempat.

Untuk mengubah perilaku buruk tersebut, kata Sjarief, pihaknya menjajaki kerjasama dengan instansi seperti Marinir untuk menegakkan kedisiplinan di area pelabuhan ikan.

“Kita jajaki dengan mitra kita, sudah ada dengan Marinir. Intinya kita coba adopsi satu model kedisiplinan untuk me­ngubah perilaku. Mitra-mitra bukan hanya Marinir saja, bisa dari TNI AL lain dan sebagainya,” ujarnya.

“Kita sedang jajaki kerjasama dengan Marinir masuk ke pe­labuhan, tujuannya supaya bisa meletakkan kedisiplinan seperti jangan letakkan ikan sembarangan, jadi kita ubah perilaku dulu. Kita coba mem­bentuk perilaku yang baik,” tambahnya.

Menurutnya, saat ini ker­jasama dengan Marinir sudah dilakukan di Pelabuhan Nizam Zachman (Muara Baru), dan dimungkinkan untuk diterapkan di pelabuhan nelayan lain. Di­ungkapkannya, saat ini un­tuk penempatan Marinir di pe­labuhan ikan lain sifatnya masih penjajakan.

“Pelan-pelan, nanti ke semua, sementara coba yang dikelola pusat, yang sudah di Pelabuhan Nizam. Ini kan mengajak ayo hormati nelayan, selama ini stereotipnya pelabuhan itu jorok dan baju seadanya, boleh mimpi enggak nelayan kita suatu saat bisa seperti ini,” tutur Sjarief sembari menunjukan gambar penampilan nelayan Jepang dalam presentasinya.

Diakuinya, meski sulit, meng­ubah image buruk pelabuhan nelayan yang sudah puluhan tahun bukan hal mustahil. Me­negakkan kedisiplinan dengan bantuan Marinir hanya salah satunya.

“Kita coba adopsi dari pihak luar yang memang menerapkan kedisiplinan. Ingat 10 tahun lalu KRL kumuh dan jorok, banyak orang naik ke atap. Akhirnya bisa berubah kalau bener-benar dilakukan konsisten dan lama, bukan persoalan pakai tentara, enggak ada salahnya meniru,” ucap Sjarief.

Sementara untuk pelabuhan yang dikelola Pemda, sam­bungnya, salah satu yang bisa diupayakan yakni menempatkan Syah Bandar dari KKP di sana. Tujuannya untuk melakukan pengawasan di pelabuhan-pe­labuhan perikanan UPT Daerah.

“Kita sedang latih 200 Syah Bandar untuk seluruh Indonesia, saat ini kan jumlah Syah Bandar ada 160 orang yang kita miliki. Berarti akan nambah menjadi 360 orang. Ini kita targetkan akan ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan ikan di daerah, jadi Syah Bandar di daerah yang ditempatkan pusat di sana,” pungkas Sjarief. (dtf)

Close Ads X
Close Ads X