Petani Rakyat Belum Melek Sertifikasi

Pekerja memanen kelapa sawit di perkebunan inti rakyat Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Rabu (7/9). Petani mengatakan, hasil produksi kelapa sawit di daerah tersebut terus mengalami penurunan yang disebabkan faktor usia tanam semakin tua dan pengaruh fenomena La Nina. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc/16.
Pekerja memanen kelapa sawit di perkebunan inti rakyat Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Rabu (7/9). Petani mengatakan, hasil produksi kelapa sawit di daerah tersebut terus mengalami penurunan yang disebabkan faktor usia tanam semakin tua dan pengaruh fenomena La Nina. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc/16.

Jakarta – Perkebunan rakyat jumlahnya masih cukup besar di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat menggantungkan hidupnya pada profesi sebagai petani di berbagai daerah. Lokasinya yang terpisah-pisah, minimnya informasi yang diterima petani hingga keterbatasan modal usaha menjadi momok bagi petani rakyat untuk bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI) bersama Perkumpulan Sawit Lestari (PSL) dan Indonesia Business Council on Sustainable Development (IBCSD) menyebut, para petani rakyat tidak terlalu mementingkan mengenai status lahan, sertifikasi, penjualan produksi tandan buah segar (TBS).

Hal yang lebih dikhawatirkan petani rakyat adalah pupuk, kekeringan panjang, dan fluktuasi harga TBS. Padahal, sertifikasi lahan merupakan poin penting yang harus dimiliki oleh setiap petani untuk memudahkan mereka mendapatkan pinjaman untuk replanting atau menjalin kemitraan dengan perusahaan.

M Dewan Effendi, salah satu petani rakyat mengatakan, banyak lahan dari perkebunan rakyat yang belum bersertifikat karena terbatasnya informasi yang sampai. “Dulu sempat ada program sertifikasi gratis tapi tetap ada biaya yang dipungut dan tidak ada kejelasan kapan sertifikat keluar,” tambahnya.

Dewan berharap agar perkebunan rakyat bisa berkelanjutan, pemerintah dapat lebih agresif memberi subsidi pupuk. Sebab, Dewan menilai subsidi yang sudah ada tidak tersalurkan 100% kepada petani rakyat.

Dian Maya, Kepala Departemen Transformasi dan Lingkungan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai, tidak mudah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani rakyat. Harus dibuat perencanaan strategis dan pendekatan yang lebih agresif dan melibatkan tokoh di wilayah setempat serta perusahaan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X