Perbankan Riau Kucur Industri Sawit Rp13,56 Triliun

Sejumlah pekerja kebun kelapa sawit memilah dan mengangkut hasil panen di kawasan Kalidoni Palembang, Sumsel, Rabu (22/3). Sebagai salah satu provinsi dengan lahan kelapa sawit yang cukup luas yaitu sekitar satu juta Ha, Sumatera Selatan mampu mengekspor 70 persen hasil panen dan 30 persen lainnya untuk kebutuhan domestik. ANTARA FOTO/Feny Selly/ama/17

Pekanbaru – Bank Indonesia menyatakan sekitar Rp 13,56 triliun kredit perbankan dikucurkan untuk pembiayaan industri sawit di Provinsi Riau sepanjang 2016. Jumlah tersebut setara 23,56% dari total kredit yang disalurkan perbankan Riau.

“Sebesar Rp 13,56 triliun kredit perbankan merupakan kredit ke industri kelapa sawit pada subsek­tor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan,” kata Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi pada Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Riau, Irwan Mulawarman, di Pekanbaru, Rabu (22/3).

Dalam kajian ekonomi BI, industri kelapa sawit memiliki peran yang besar dalam menyokong ekonomi Riau. Dengan luas kebun sawit Riau yang mencapai lebih dari 2,42 juta hektare, kelapa sawit dan produk turunannya menopang sebesar 39,31% per­ekonomian Riau. Kontribusinya lebih besar ketimbang sektor pertambangan dan penggalian yang sumbangannya pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau 2016 mencapai 22,65%.

Karena potensi yang besar itu, sektor perbankan masih mempercayai pembiayaan ke sektor tersebut bakal membawa keuntungan. Hanya saja, Irwan mengatakan pembiayaan kepada industri kelapa sawit paling banyak diberikan pada kegiatan hulu.

Pembiayaan hilirisasi industri kelapa sawit masih minim. Ter­batas pada pengolahan minyak mentah dan minyak goreng saja, begitu juga dengan subsektor perdagangan atau ekspor kelapa sawit dan hasil olahannya.

Irwan mengatakan untuk me­maksimalkan potensi sawit di Riau, harus dilakukan hilirisasi. Sebab, mayoritas sawit Riau dikirim ke luar sebagai bahan mentah. Padahal, lanjut Irwan, di Malaysia sudah ada 120 turunan produk sawit yang memberikan nilai tambah tinggi. Sementara di Indonesia, hilirisasi sawit baru dikembangkan sebanyak 20 pro­duk.

Menurut dia, pemerintah pu­­­sat dan daerah seharusnya mem­­­beri dukungan besar un­tuk pe­ngembangan hilirisasi in­dus­tri sawit karena pada 2020 Pe­merintah Indonesia juga me­nargetkan untuk menekan ekspor komoditi mentah hingga 30%.

BI Riau telah melakukan si­mulasi pengembangan kawasan industri hilir sawit, diprediksi memberikan dampak peningkatan pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun sebesar 0,21%, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja 0,62% per tahun serta meningkatkan volume ekspor 0,09% per tahun.

Dengan catatan, kata Irwan, pengembangan kawasan industri membutuhkan pengembangan industri yang terintegasi khusus­nya untuk subsektor industri pe­ngolahan kelapa sawit, atau dari oil palm menjadi edible oil.

Dengan adanya hilirisasi di­asumsikan dapat memberikan kenaikan output oil palm se­besar 25%, serta peningkatan produktivitas edible oil mencapai 50% serta kenaikan investasi dan ekspor.

Namun, Irwan mengatakan investasi untuk hilirisasi sawit dalam pengembangan kawasan industri masih terkendala masalah pembebasan lahan, masalah rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Provinsi Riau yang ber­larut-larut, infrastruktur belum memadai terutama jalan dan listrik.

“Selama masalah RTRW Riau belum rampung pada tahun ini juga, pengembangan kawasan industri dan rencana hilirisasi sawit tidak akan berjalan karena investor tidak ada kepastian hukum terhadap lahan,” ujarnya.

(bc)

Close Ads X
Close Ads X