Pengelolaan Kelapa Sawit Rawan Korupsi

Sejumlah petani lokal mengangkut hasil panen kelapa sawit kedalam truk untuk dibawa ke pabrik di Kawasan perkebunan Batang Serangan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Sabtu (5/9). Sejumlah petani mengaku harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok dari Rp1.500 kg menjadi sekitar Rp600 dan Rp500 kg akibat dampak krisis ekonomi global. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/pd/15

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa pengelolaan komoditas kelapa sawit rawan korupsi. Pasalnya, mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian yang lemah membuat sektor ini rawan korupsi.

Korupsi dalam proses per­izinan perkebunan sawit sering melibatkan kepala daerah. Seperti yang sudah ditangani oleh KPK, yakni Bupati Buol Amran Batalipu dan Gubernur Riau Rusli Zainal.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, dalam kajian tahun 2016, KPK menemukan hingga saat ini belum ada desain tata kelo­la usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi ini tak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan. “Sehingga, rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktek tindak pidana korupsi,” ujar Febri, Senin (24/4).

Ia menjelaskan, dari sisi hulu, sistem pengendalian da­lam perizinan perkebunan ke­­la­pa sawit belum akuntabel un­tuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Hal ini ditandai dengan tidak adanya mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Integrasi perizinan dalam skema satu peta juga belum tersedia.

Selain itu, kementerian dan lembaga terkait belum ber­ko­ordinasi dalam penerbitan per­izinan. Akibatnya, masih terjadi tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare (ha).

Menurut Febri, di hilir, pe­ngendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif ka­rena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit, habis untuk subsidi biofuel. Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7% dari Rp 3,25 triliun alokasi dananya.

Padahal seharusnya peng­gunaan dana terbagi untuk pe­nanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningka­tan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset. Tak hanya itu, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Tak efektifnya pengendalian pungutan ekspor ini meng­aki­batkan ada kurang bayar pu­ngutan sebesar Rp 2,1 miliar dan lebih bayar Rp 10,5 miliar. Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami penurunan. Se­jak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya menurun masing-masing sebanyak 24,3% dan 36%.

Dari hasil kajian ini, KPK merekomendasikan Kementerian Pertanian dan kementerian/lem­baga terkait harus menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit. KPK akan melakukan pe­mantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi ter­sebut.

(kc)

Close Ads X
Close Ads X