Meski Negara Agraris Harga Pangan di Indonesia Rawan Bergejolak

Pedagang melayani pembeli sejumlah komoditas Sembako di Pasar Bandarjo, Ungaran, Kabupaten emarang, Jawa Tengah, Sabtu (2/7). Badan Pusat Statistik (BPS) merilis inflasi Juni 2016 sebesar 0,66 persen, sementara inflasi tahunan 3,45 persen dengan kontribus terbesar berasal dari harga pangan dan tarif angkutan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc/16.

Jakarta – Gemah ripah loh jinawi, ungkapan kata yang sering disematkan pada Indonesia, kata tersebut memiliki arti yakni kekayaan alam yang berlimpah. Sebagai negara agraris, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ditambah posisi Indonesia yang dinilai amat strategis.

Mulai dari sisi geografis, Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat hidup dan tumbuh dengan cepat.
Selain itu dari sisi geologi, Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik sehingga banyak terbentuk pe­gunungan yang kaya akan mineral.

Daerah perairan di Indonesia kaya sumber makanan bagi ber­bagai jenis tanaman, ikan, dan hewan laut, dan juga mengandung berbagai jenis sumber mineral. Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia mem­punyai pencaharian di bidang pertanian atau bercocok tanam.

Pada Februari 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 31,74 persen angkatan kerja di Indonesia atau 38,29 juta bekerja di sektor pertanian. Dengan angka tersebut, telah terjadi hampir dua juta pekerja sektor pertanian beralih ke sektor lain hanya dalam setahun.

Sebagai agraris, pertanian di Indonesia menghasilkan berbagai macam tumbuhan komoditas ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai, sayur-sayuran, aneka cabai, ubi, dan singkong.
Selain itu, Indonesia juga dike­nal dengan hasil perkebunannya, antara lain karet, kelapa sawit, tembakau, kapas, kopi, dan tebu.

Sejarah mencatat Indonesia pernah mengalami masa swa­sembada pangan, khususnya komoditas beras, pada dekade 1980-an. Namun di sisi lain, Indonesia kerap mengimpor bahan pangan dari negara-negara lain.

Persoalannya cukup dinamis, mulai dari persediaan yang ter­batas, harga berbagai komoditas pangan yang sering bergejolak, hingga praktik nakal dalam rantai distribusi pangan.

Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengungkapkan, ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi naik turunnya harga pangan pada saat ini.

“Pertama, karena produk per­tanian sifatnya musiman, jadi sesuai musim, ada puncak-puncak dimana produksi tinggi lalu ada waktu-waktu terjadi paceklik atau tidak ada produksi itu yang salah satunya menyebabkan harga pangan itu selalu fluktuatif,” ujar Andreas, Minggu (19/2).

Menurutnya, faktor kedua adalah, sifat dari produk pertanian yang sebagian besar mudah rusak dan tidak tahan lama.

“Karena mudah rusak otomatis, tidak memiliki daya simpan yang lama sehingga harus cepat dijual, maka ada kondisi-kondisi tertentu stok menurun, kalau cepat dijual kemudian harga turun, tetapi ketika tidak terjual lagi mungkin dalam satu sampai dua minggu harga naik nggak karuan,” paparnya.

Selain itu, persoalan harga pangan juga dipengaruhi oleh elastisitas permintaan atau price elasticity of demand (PED), yang merupakan ukuran respon pe­rubahan jumlah permintaan ba­rang terhadap perubahan harga.

“Jadi tiga faktor itu yang ber­kombinasi menyebabkan harga pangan cenderung fluktuatif,” ujarnya.

Stabilisasi Harga Pangan
Dalam persoalan lonjakan harga pangan, pemerintah tentunya tak tinggal diam, berbagai kebijakan guna meredam dan stabilisasi harga pangan terus digulirkan.

Seperti upaya khusus pe­nambahan luas tanam komoditas strategis padi, jagung, kedelai yang dilakukan oleh Kemeterian Pertanian, hal ini dilakukan guna meningkatkan produksi dan juga upaya untuk tidak impor pangan.

Selain itu, upsus sapi indukan wajib bunting yang digencarkan guna meningkatkan populasi sapi di Indoensia. Seperti komoditas beras, pada tahun 2016 lalu harga beras pada tataran yang relatif stabil dan tidak bergejolak.

Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti mengatakan, sepanjang 2016 pergerakan harga beras relatif stabil jika dibandingkan pada 2015 yang sempat mengalami kenaikan sampai 30 persen.

Hal tersebut juga diakui Pe­ngamat Pertanian IPB Dwi Andreas yabg mengatakan harga beras selama 2016 relatif stabil dan tidak fluktuatif.

“Beras di tahun 2016 lalu relatif stabil harganya, fluktuatifnya tidak separah tahun 2015 yang dibulan Februari masih sangat tinggi dan kemudian drop dibulan April dan Mei, lalu naik lagi lebih tinggi,” ungkapnya.

Pada tahun 2016 perbedaan harga beras terendah dan tertinggi hanya Rp 350 perbedaannya dengan tahun sebelumnya.

“Itu ada faktor yang mem­pengaruhi, perbaikan produksi, sehingga produksi hampir se­panjang tahun, dan masa simpan, jadi beras relatif tersedia sepanjang tahun,” paparnya.

Namun, kebijakan itu berbeda untuk komoditas seperti aneka cabai dan tomat yang memiliki masa simpan pendek serta mudah rusak.

Lonjakan harga yang sering terjadi diakibatkan masalah data produksi dan stok yang tidak akurat. “Sebenarnya kenaikan harga itu menandakan ada ma­salah di stok. Sehingga kunci dari tata kelola pangan yang baik adalah data produksi dan stok yang akurat, itu kuncinya,” pungkasnya.
(kcm)

Close Ads X
Close Ads X