Indonesia Bergantung Pada Impor Gula

Jakarta – Kebutuhan gula konsumsi sam­pai saat ini masih bergantung pada impor. Saat ini, dari kebutuhan gula konsumsi sebesar 3 juta ton per tahun, produksi gula dalam negeri baru 2,5 Pertambahan jumlah penduduk serta permintaan, mem­buat kebutuhan gula konsumsi nasional semakin meningkat.

Namun demikian, dari total kebutuhan gula konsumsi 3,2 juta ton, produksi rata-rata pabrik gula (PG) domestik hanya sekitar 2,2 juta ton, sehingga sisanya terpaksa dipenuhi dari impor.

Padahal menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat In­donesia (APTRI), Sumitro Sa­madikun, Indonesia sebenarnya pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba, tepatnya saat zaman Kolonial Belanda yakni pada dekade 1930-an.

Ibarat pepatah ada gula ada semut, gula yang jadi komoditas penting abad 19 membuat banyak investor dari Belanda ramai-ramai membangun pabrik di Hindia Belanda. Total setelah merdeka, Indonesia mewarisi 179 PG yang kemudian dikelola sejumlah BUMN perkebunan.

“Zaman Hindia Indonesia per­nah jadi eksportir gula terbesar kedua setelah Kuba. Sekarang jadi importir, malah produksinya disalip Thailand. Karena tidak ada pembangunan pabrik gula baru,” ujar Sumitro , Kamis (19/1).

“Kalau enggak mampu bangun pabrik baru, bisa kerja sama dengan swasta. Itu pabrik tanahnya banyak yang menganggur, kayak PG Solomadu, mesinnya sudah jadi besi tua. Kalau mobil dinas saja bisa ganti setiap 5 tahun, padahal masa pakainya bisa 10 tahun, ini pabrik gula untuk kepentingan petani banyak, tidak pernah diganti,” katanya lagi.

Menurut Sumitro, dengan pro­duksi mencapai 3 juta ton, In­donesia mengalahkan negara-negara produsen utama gula dunia saat itu seperti Thailand, Brasil, dan India. Namun saat ini, negara-negara tersebut telah menyalip posisi Indonesia.

Brasil contohnya, produksi gula negara tersebut saat ini mencapai lebih dari 29 juta ton, disusul India dengan produksi 29 juta ton, Tiongkok 11 juta ton, dan Thailand 5 juta ton. Sementara Indonesia, produksi gula malah menyusut dari 3 juta ton menjadi 2,2 juta ton sampai saat ini saat penduduknya semakin banyak.

“Kalau swasta saja bisa ba­ngun pabrik baru yang me­sinnya lebih efisien, swasta bisa pinjam ke bank, kenapa BUMN tidak bisa. Ada berita 11 PG mau ditutup, apa itu pabriknya yang memang buruk atau manajemennya yang buruk, atau dua-duanya,” pungkas Sumitro.
(dtf)

Close Ads X
Close Ads X