Jakarta – Harga cabai rawit merah melonjak drastis hingga tembus Rp 160.000 per kilogram (kg) ditengarai karena curah hujan tinggi. Kondisi ini mengganggu produksi maupun distribusi.
Tapi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) punya penilaian berbeda. Jika mengacu pada data produksi yang menurun sebanyak 30-50%, seharusnya kenaikan harga cabai rawit merah tak setinggi yang terjadi di lapangan saat ini.
“Idealnya kenaikan harga itu hanya maksimal Rp 80.000-Rp 90.000 per kg,” ujar Ketua KPPU, M. Syarkawi Rauf, Senin (13/2).
Harga yang ‘di atas normal’ ini membuat KPPU menelusuri rantai distribusi di sejumlah daerah pemasok cabai. Mulai dari Balikpapan, Makassar, Surabaya, Magelang, Garut, Jakarta hingga Medan. Ia mengatakan pola distribusinya hampir sama, yakni dimulai dari petani, kemudian dibeli oleh pengepul, bandar di daerah, dan bandar di pasar induk. Setelah dari bandar di pasar induk, barulah cabai masuk ke agen dan dijual ke para pedagang pengecer yang akhirnya menjual ke konsumen.
KPPU mengindikasi adanya pengaturan pasokan di level bandar, karena adanya jumlah pelaku pasar yang sedikit ketika rantai distribusi sampai di level ini.
“Setelah kita lihat, kalau di petani kan jumlahnya banyak sekali, pengepul juga banyak. Yang mulai sedikit itu jumlahnya yang menguasai pembelian, adalah mereka di level bandar daerah dan termasuk yang di pasar induk. Mereka ini yang menguasai pembelian dari pengepul maupun penjualan ke agen,” jelas Syarkawi.
“Berarti yang berpotensi mengatur pasokan ke pasar atau pembelian dari petani itu di level bandar. Karena di situ jumlahnya sedikit. Dari sisi ilmu persaingan, semakin sedikit jumlah pelakunya, berarti pasarnya semakin terkonsentrasi. Semakin terkonsentrasi, potensi terjadi persekongkolan semakin besar,” ungkapnya.
Lanjut Syarkawi, hal ini masih terus diselidiki apakah benar harga cabai yang tinggi benar-benar disebabkan oleh faktor cuaca ekstrim yang menyebabkan produksi menurun.
“KPPU melihat, ini temuan sementara waktu. Kenaikan harga yang disebabkan oleh penurunan produksi sampai 30% itu tidak rasional lagi. Karena kenaikan harganya sudah berlebihan, padahal produksi hanya turun 30%. Idealnya kenaikan harga itu hanya maksimal Rp 80 atau 90 ribu per kilogram,” tukasnya.
Darmin Anggap Biasa
Di sisi lain, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, hal ini memang terjadi lantaran faktor musim yang membuat harga bisa semahal itu. Darmin berujar, masalah tingginya harga cabai juga terjadi di negara lain.
“Yang namanya cabai memang, di negara lain fluktuasinya juga tinggi,” kata Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (13/2).
“Memang ini adalah urusan musim yang memang membuat tidak berkembang (karena) hama. Memang ke depannya, harus lebih tertib dan lebih teratur supaya bisa mengantisipasi jangan terjadi seperti ini,” tambahnya.
Pemerintah sendiri kata dia saat ini terus mencari solusi dengan mengatur distribusi dari daerah-daerah yang memiliki produksi yang banyak ke daerah yang kurang, guna meminimalisir dampak harga yang terlalu tinggi.
Namun demikian, faktor cuaca yang tak dapat dibendung, dan kemudian harga yang tak kunjung turun, seharusnya telah menjadi refleksi bagi masyarakat agar mencari cara lain bagaimana cabai ini bisa didapat dengan mudah.
Hal ini dilakukan lantaran jenis komoditas cabai yang tak sulit ditanam dan dipanen.
“Artinya begitu tinggi lagi harganya, dia tanam, satu setengah bulan juga keluar hasilnya. Ini kan sudah jalan satu bulan lebih. Jadi dampaknya ke pengeluaran juga banyak. Orang enggak makan cabai rawit juga nggak kenapa-kenapa,” tutur Darmin.
Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk membiasakan mengkonsumsi cabai olahan, bukan hanya cabai segar. Hal ini sebagai alternatif, agar naiknya harga cabai segar yang sewaktu-waktu disebabkan cuaca, tak lagi menjadi masalah.
“Cabai rawit kan orang perlunya berapa sih. Jadi, ya semua belajar. Memang harusnya dari awal kita itu mulai membiasakan masyarakat, bukan cuma cabai rawit, tapi yang lain juga, jangan harus yang segar melulu lah,” ujar Darmin.
“Tapi memang pemerintah harus punya program membuat processing-nya yang mudah, kemudian dikeringkannya prosesnya bagaimana, kemudian dicelupkan ke air agak panas, balik dia (cabai bubuknya) jadi seperti cabai segar. Tapi enggak persis seperti cabai segar. Tapi rasanya masih tak beda banyak,” tandasnya. (dtf)