Efisiensi Irigasi Pompa Tingkatkan Produktivitas Padi

Petani menyedot air tanah dengan mesin pompa untuk mengairi sawahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (12/8). Sebagian petani yang sawahnya tidak memiliki irigasi teknis terpaksa menggunakan mesin pompa air agar bisa terus bercocok tanam. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/pd/16
Petani menyedot air tanah dengan mesin pompa untuk mengairi sawahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (12/8). Sebagian petani yang sawahnya tidak memiliki irigasi teknis terpaksa menggunakan mesin pompa air agar bisa terus bercocok tanam. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/pd/16

Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan, efisien usaha tani ditentukan oleh banyak faktor. Salah satunya, biaya pengairan penggantian sumber energi pompa dari bahan bakar minyak menjadi listrik yang mampu menghemat biaya pengairan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sekditjen PSP) Kementerian Pertanian Abdul Majid mengatakan, pihaknya membantu optimalisasi dan efisiensi pengairan pompa bagi petani yang memerlukan. Ini dilakukan untuk menekan biaya, sehingga nantinya petani mampu meningkatkan produktivitas padi. “Silakan petani melalui dinasnya mengusulkan (efisiensi pengairan pompa) ke Kementan,” ujar Abdul dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (25/10).

Dia mencontohkan, Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Subur Makmur yang terletak di Desa Klotok, Kabupaten Tuban, Jawa Timur (Jatim) berhasil melakukan efisiensi pengairan pompa. Hasilnya, produktivitas padi di desa tersebut meningkat dari 2,5 ton menjadi 10-12 ton per hektare (ha) Gabah Kering Panen (GKP).

“Pola tanam di Desa Klotok sebelum adanya HIPPA adalah padi, palawija yang pada 1979 dan 1980-an produksi padinya masih sangat rendah, hanya berkisar 2,5 ton sampai 3,5 ton per ha. Ini karena pengairannya masih mengandalkan tadah hujan,” paparnya.

Abdul menambahkan, air baku yang dimanfaatkan pada waktu itu berasal dari jaringan irigasi Beron yang ada di Kecamatan Rengel. “Sumber air jaringan irigasi Beron sangat terbatas dan tidak mampu untuk mengairi seluruh wilayah layanannya,” tutur Abdul.

Pembina HIPPA Subur Makmur, Purwanto mengakui, awalnya HIPPA Subur Makmur pada 1991 mendapatkan bantuan berupa pompa air, rumah pompa, dan modal kerja sebesar Rp30 juta yang digunakan untuk operasional termasuk bahan bakar. Sayangnya pompa air yang berada dalam tanah, tepian Sungai Bengawan Solo, sering terendam saat air sedang tinggi, sehingga membuat pompa tersebut rusak.

“Akhirnya timbul ide untuk mencari hutang dalam bentuk sapi dengan suku bunga, kalau Rp1 juta dalam satu bulan, maka bayarnya Rp1,5 juta. Setelah dijalani, dalam waktu satu kali musim panen hutang terlunasi. Bahkan masih menyisakan dana untuk operasional tanam berikutnya,” jelas dia.

Pada 2000, akhir HIPPA Subur Makmur sudah bisa mandiri dengan memiliki tiga pompa pengambilan air utama di tepian Bengawan Solo. “Di 25 titik tertentu kita letakkan pompa imbal,” ungkap Purwanto.

Dalam perkembangannya, pada 2011 dilakukan alih teknologi dari BBM ke tenaga listrik dengan biaya Rp744 juta. Sejalan dengan itu, wilayah kerja meluas. Jika pada 1991 hanya mampu mengairi 150 ha, kini HIPPA Subur Makmur mampu mengairi 638 ha lahan, dari 1.905 petani anggota.

“Seiring dengan itu, pola tanam disesuaikan, yakni padi-padi-bero. Saat kondisi tanah bero, saatnya melakukan perbaikan mesin, pembersihan saluran irigasi, dan tidak melakukan tanam padi hingga tiga. Ini selain untuk menjaga kesuburan tanah, juga untuk menghindari permainan harga saat panen raya,” pungkas Purwanto. (mtv)

Close Ads X
Close Ads X