Jakarta – Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melalui Direktorat Jenderal Budidaya Perikanan saat ini tengah mengoptimalisasi pemanfaatan varian jenis rumput laut bernilai ekonomis tinggi.
Wajar saja, sebagai salah satu bagian dari segitiga karang dunia (coral triangle), Indonesia disuguhi potensi sumberdaya rumput laut yang melimpah.
Setidaknya ada lebih dari 550 jenis rumput laut potensial ada di Perairan Indonesia, namun hingga kini hanya sekitar 5 jenis rumput laut nilai ekonomis tinggi yang baru dibudidayakan secara massal.
Ini tentunya menjadi peluang tersendiri bagi Indonesia untuk lebih mengeksplorasi beragam jenis rumput laut sehingga secara langsung memberikan manfaat ekonomi.
Salah satu yang tengah dikembangkan saat ini adalah melalui perekayasaan teknologi, yakni pengembangan varian baru rumput laut jenis Caulerpa sp atau lebih dikenal dengan nama lokal Lawi-lawi (Sulawesi Selatan), atau Latoh (Lombok) atau juga sebagian masyarakat menyebutnya dengan anggur laut.
Rumput laut yang masuk kelompok alga hijau ini pada awalnya masih dianggap sebagai gulma dan hanya menjadi panganan biasa masyarakat.
Namun, melalui program diversifikasi komoditas yang dikembangkan BPBAP Takalar yang merupakan UPT Ditjen Perikanan Budidaya, saat ini telah menjadi salah satu komoditas primadona yang dipilih oleh para petambak dan menjadi alternatif utama untuk menopang pendapatan masyarakat.
“Pengembangan Lawi-lawi yang berhasil menembus pasar ekspor menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk terus mengeksplorasi sumberdaya rumput laut nasional, sehingga harapan Indonesia menjadi kiblat rumput laut dunia dapat terwujud,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto di Jakarta, Selasa (25/4).
Menurutnya, sejak lama KKP menjadikan komoditas rumput laut sebagai unggulan utama komoditas perikanan budidaya. Disamping memiliki nilai strategis dalam menopang perekonomian nasional, budidaya rumput laut juga menjadi usaha yang telah menyentuh aspek pemberdayaan masyarakat.
“Jika dibandingkan negara produsen rumput laut di dunia, justru Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi, karena kita memiliki keragaman sumberdaya rumput laut yang melimpah, tentunya ini menjadi PR bersama untuk bagaimana potensi ini bisa dioptimalkan secara mandiri, sehingga memberikan nilai tambah ekonomi,” ungkap dia.
Seiring dengan bertambahnya jumlah pembudidaya yang mengadopsi teknologi budidaya, diyakini secara simultan ini akan mendongkrak peningkatan nilai produksi lawi-lawi di tambak sehingga kebutuhan pasar baik lokal maupun ekspor dapat terpenuhi.
Salah satu pembudidaya, Ratte Daeng Bella (46) mengaku usaha ini telah memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan harga jual basah berkisar Rp 150.000-Rp 250.000 per karung, ia memperoleh penghasilan hingga Rp 15 juta per bulan untuk lahan tambak yang dimiliknya seluas 3.200 m2.
“Rumput laut Lawi-lawi telah berhasil menopang ekonomi masyarakat, harapannya ke depan akan semakin berkembang seiring dengan permintaan pasar yang lebih luas,” ungkap Ratte.
Menurutnya, Lawi-lawi saat ini telah menjadi primadona baru di dunia bisnis perumput-lautan nasional bahkan dunia. Bahkan, baru-baru ini Unit Purifikasi BBPBAP Takalar bekerjasama dengan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) telah berhasil mengekspor Lawi-lawi segar dengan tujuan ekspor ke Jepang.
“Khusus untuk Jepang saja, kebutuhan ekspor Lawi-lawi minimal 500 kg per bulan dalam bentuk segar dan permintaan cenderung naik. Kita harapkan berikutnya pasar ekspor Jepang ini bisa naik minimal sepuluh kali lipat,” ujar Nono.
Menurutnya, ekspor lawi-lawi segar ini merupakan tahap awal, dimana permintaan dipastikan akan semakin banyak dengan tujuan ekspor tidak sebatas ke negara Jepang, namun negara lain seperti China, Korea dan Philipina juga menyatakan tertarik dengan produk rumput laut yang satu ini. Karakter masyarakat negara tersebut yang cenderung menyukai produk-produk sehat seperti rumput laut, secara langsung akan memicu permintaan pasar yang signifikan.
Sebagai informasi, data rumput laut nasional dalam kurun waktu lima tahun (2011-2015) menunjukkan tren kenaikan positif, dengan rata-rata kenaikan mencapai 22,25%. Tahun 2015 volume produksi rumput laut nasional mencapai sekitar 11,2 juta ton dengan nilai produksi mencapai Rp 13,2 triliun rupiah atau naik 9,8% dari tahun sebelumnya yang mencapai 10,2 juta ton.
(dtf)