Asosiasi Tuna Tuding Kebijakan Menteri Susi Cacat

Jakarta – Pelaku industri dan nelayan menilai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghambat kinerja mereka dengan berbagai macam Peraturan Menteri (Permen) yang dikeluarkan Menteri Susi Pudjiastuti.

Selama menjabat hingga saat ini, Susi telah mengeluarkan lima Permen, yaitu Permen Nomor 56 tahun 2015 tentang moratorium, Permen Nomor 57 tahun 2015 tentang transhipment, dan Permen Nomor 1 tahun 2015 tentang aturan penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Lalu, Permen Nomor 2 tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat tangkap jaring pukat, dan Permen Nomor 15 tahun 2016 tentang pembatasan kapal angkut.

Hendra Sugandhi Sekjen Asosiasi Tuna Indonesia menilai seluruh peraturan tersebut membuat susah para pelaku industri. Faktanya, banyak industri yang menanggung kerugian besar setelah kapalnya terkena moratorium dan banyak hasil produksi ikan yang tidak terangkut. “ Dua tahun ini industrinya seperti terlupakan,” katanya, Rabu (20/9).

Munculnya, Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2016 yang diteken pada 22 Agustus, menjadi angin segar bagi para pelaku industri dan nelayan untuk menghidupkan kembali usahanya. Sayang, meski Inpres sudah terbit sebulan lalu, namun asosiasi perikanan tidak melihat Menteri Susi membuat gebrakan baru untuk mempercepat pengembangan di sektor perikanan.

Relaksasi yang diberikan Menteri Susi pun juga dinilai tidak menjadi solusi untuk melakukan percepatan di sektor perikanan. Pasca diterbitkannya Inpres Nomor 7 tahun 2016,KKP mengeluarkan dua relaksasi. Salah satunya, relaksasi Permen Nomor 15 tahun 2015, di mana KKP menambah jumlah frekeunsi kapal angkut dari enam kali setahun menjadi 12 kali setahun dengan empat titik daerah angkut.

Relaksasi lainnya adalah, pelonggaran atas Permen Nomor 1 tahun 2015. KKP berencana memberlakukan sistem buka tutup untuk ekspor lobster, rajungan, dan kepiting betina bertelur dalam periode tertentu. Sayang, sampai saat ini belum diketahui kapan relaksasi tersebut bakal berlaku.

Wajan Sudja Sekjen Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) menilai relaksasi yang diberikan sia-sia karena tidak ada kajian ilmiah dan keterlibatan para pelaku usaha dan nelayan. “Wacana itu (relaksasi Permen Nomor 1 tahun 2016) tidak beres karena, peneliti tidak dilibatkan,” katanya.

Wajan menjelaskan hal yang diharapkan nelayan adalah diturunkannya batas ukuran lobster yang telah ditentukan dari 200 gram menjadi 150 gram. Sebab, lobster di Indonesia berjenis lobster pasir yang rata-rata beratnya 200 gram – 250 gram. Bila dipaksakan, maka negara akan kehilangan keuntungan sekitar Rp 8 miliar.
(kc)

Close Ads X
Close Ads X