Medan | Jurnal Asia
Penegak Hukum di Tanah Air harus berusaha lebih banyak mencegah pelaku kejahatan dan tidak hanya berorientasi untuk melakukan pemidanaan. “Sebab, proses pemidanaan itu cukup panjang dan juga mengeluarkan biaya yang cukup besar, sementara anggaran yang diberikan negara sangat terbatas,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Pedastaren Tarigan SH di Medan, Jumat.
Penegak hukum tersebut, menurut dia, tidak harus fokus memidanakan seorang pelaku kejahatan, namun juga melakukan pencegahan sehingga tidak sampai melakukan pelanggaran hukum.
“Kinerja`penegak hukum yang seperti ini perlu disosialisasikan secara luas, dan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Pedastaren.
Ia menjelaskan, saat ini cukup banyak perkara kejahatan yang menumpuk di kejaksaan, dan belum lagi bisa terselesaikan oleh penegak hukum tersebut. Bahkan, rumitnya perkara itu, bisa saja dikarenakan kurangnya alat bukti untuk meneruskan hingga proses ke pengadilan.
Selain itu, anggaran dana yang diperoleh dari APBN sangat terbatas, dan tidak sebanding dengan banyaknya perkara kejahatan yang akan diselesaikan Kejaksaan. Hal itu harus dipikirkan secara arif dan bijaksana oleh penegak hukum dalam menangani berbagai kejahatan, dan bila perlu dapat menggunakan skala prioritas. “Perkara kejahatan yang akan diselesaikan itu adalah untuk kepentingan bangsa dan negara, serta masyarakat banyak,” ucapnya.
Pedastaren menambahkan, tugas kejaksaan ke depan semakin berat, dan mengingat semakin banyaknya UU yang baru, itu akan membuat penegak hukum harus bekerja keras menyelesaikan perkara.
Oleh karena itu, institusi kejaksaan terpaksa harus mengerahkan sumber daya manusia (SDM) yang andal untuk menangani perkara tersebut.
“Pemerintah juga perlu memikirkan untuk menaikkan jumlah anggaran kepada kejaksaan, sehingga bisa menyelesaikan dengan cepat perkara kejahatan tersebut,” kata Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU itu.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Choky Ramadhan menilai bahwa orientasi penegakan hukum masih berujung pada pemidanaan pelaku kejahatan bukan untuk mencegah perilaku pidana.
Sejak reformasi 1998, ada 716 pasal yang mengandung tindak pidana baru dari 112 UU, mulai dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik hingga UU Hortikultura.Kemudian, UU Sumber Daya Air hingga pemidanaan terhadap pelaku kumpul kebo yang rencananya akan dimasukkan pada revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal itu menyebabkan dampak lanjutan seperti mahalnya proses penegakan hukum mulai proses di polisi, jaksa, hingga biaya berada di lembaga pemasyarakatan yang tidak sebanding dengan kerugian dari tindak pidana yang ditimbulkan.
“Pada 2011, anggaran per perkara tindak pidana umum sebesar Rp29,5 juta namun pada 2012 turun drastis sebesar Rp5,8 juta dan pada 2013-2015 turun lagi dengan hanya rata-rata Rp3,3 juta per perkara pada tiga tahun tersebut,” ujar Choky. (ant)