Medan | Jurnal Asia
Peraturan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) khusus pakaian bayi dinilai memberatkan para pengusaha. Selain masih belum adanya kejelasan dalam pengajuan SNI, biaya yang harus dikeluarkan pengusaha sangat besar dan tidak sebanding dengan pemasukan.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adyaksa mengaku, banyak pelaku dunia usaha Sumut umumnya dan Medan pada khususnya menyampaikan keluh kesah terkait banyaknya razia-razia yang berkaitan dengan SNI khususnya pakaian bayi.
Padahal dalam kondisi yang kian terpuruk, pengusah membutuhkan arahan dari pemerintah dalam mengembangkan dunia usaha. “Ini menjadi permasalahan utama dan momok bagi pengusaha khususnya pengusaha kecil. Kalau kami harus mengurus SNI pada setiap produk pakaian bayi, ini biayanya berapa untuk setiap modelnya,” katanya di Medan, Senin (30/11).
Biaya untuk mengurus SNI, katanya, mungkin tidak seimbang dengan hasil produksi yang kami keluarkan. Artinya, di satu sisi kita harus membatasi impor di sisi lain justru produksi di dalam negeri ini tidak mendapatkan perlakuan atau pesanan-pesanan yang seharusnya tidak dilakukan.
Menurut Laksamana, jika untuk produk impor mungkin harus memakai label SNI, sedangkan kalau di dalam negeri apakah harus begitu kaku membuat pelaku usaha kecil ini sangat sulit untuk berusaha. Apalagi, biaya untuk mengurus SNI tidak sedikit.
“Masalah ini juga bisa menjadi masukan kepada pemerintah agar paket-paket ekonomi dapat membumi. Akan lebih bagus lagi jika menyentuh permasalahan yang terjadi seperti permasalahan SNI ini,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian RI fokus melakukan sosialisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) pakaian bayi kepada pengusaha dan pedagang di daerah. Diharapkan, 2016 nantinya, pegusaha dan pedagang memproduksi dan memasarkan pakain bayi sesuai ketentuan.
Kabid Penyiapan Penerapan dan Kerjasama Standar (PPKS), Azriadi mengatakan, pengawasan telah dilakukan baik pengawasan dalam rangka pembinaan dilakukan oleh Petugas Pengawas Standar di Pabrik (PPSP) maupun pengawasan dalam rangka penindakan.
Kemudian serta pemberian sanksi jika pakaian bayi yang beredar tidak memenuhi ketentuan SNI yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perindustrian atau instansi lainnya.
Ia menegaskan, yang dituntut untuk mengikuti SNI sebenarnya adalah bahan untuk membuat pakaian bayi yang aman dipakai. Peraturan tersebut agar memberikan perlindungan bagi konsumen, pelaku usaha, masyarakat dalam aspek kesehatan,
keselamatan dan keamanan serta kelestarian lingkungan hidup. “Pemberlakuan SNI wajib untuk pakaian bayi mengatur standar dari beberapa parameter yang harus dipenuhi untuk produk pakaian bayi yang meliputi kandungan zat warna AZO, kadar Formaldehida dan kadar logam terekstraksi. Kandungan-kandungan berbahaya seperti AZO, formaldehida dan kadar logam berpotensi mengganggu kesehatan bayi dan anak,” ungkapnya. (Netty)