Bunga Tak Turun BI: Kita Butuh Valas

Jakarta | Jurnal Asia
Meski ekonomi dan inflasi melambat, dan diprediksi akan berlanjut hingga tahun depan, Bank Indonesia (BI) tetap mem­pertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 7,5%.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara me­ngung­kapkan, Indonesia saat ini masih membutuhkan masuknya valuta asing untuk menjaga stabilitas.

“Kenapa saat ekonomi me­lambat kita malah nggak turunkan bunga saja kaya Ame­rika Serikat atau negara lain? AS saja kalau ekonomi melambat turunin dari 5% ke 0,25%, di negara-negara Eropa suku bunga bahkan minus atau taruh uang malah didenda, kita tidak bisa seperti mereka, kita butuh valuta asing,” jelas Mirza, ditemui usai acara Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2016, di Kampus IPMI, Tebet, Jakarta, Kamis (26/11).

Kebutuhan valuta asing, apalagi dolar AS, lebih dibu­tuhkan saat ini ketimbang mela­kukan penurunan bunga untuk menggenjot per­tumbuhan sektor rill. Lebih penting lagi, kata Mirza, penurunan BI rate rentan menciptakan gejolak di pasar uang dan pasar modal di dalam negeri.

“Karena pendanaan dari surat utang pemerintah saja yang beli 37% asing. Pas beli surat utang mereka bawa uangnya dolar, yang dibutuhkan kita yah akhirnya dolar. Belum yang korporasi, belum perbankan. Apalagi ada defisit ekspor, akhirnya kita lebih penting butuhnya valuta asing daripada bunga turun, karena negara kita sistem devisa bebas,” terang Mirza.

Dengan kondisi tersebut, sam­bung Mirza, pihaknya me­minta masyarakat tak mem­banding-bandingkan kebijakan yang di­tempuh BI dengan negara lain yang memiliki struktur keuangan yang berbeda.
Mirza melanjutkan, dalam jangka panjang, baik BI maupun pemerintah sudah menempuh berbagai kebijakan guna me­ngurangi arus uang panas yang masuk, serta memperbesar modal asing dalam bentuk equi­tas, bukan dalam bentuk por­tofolio surat utang.

“Tidak mungkin Indonesia tumbuh tanpa modal asing. Yang terjadi sekarang, PMA (Pe­nanaman Modal Asing) masuk tapi dia juga dari pinjaman, akhirnya saat bayar bunga ke luar, maka dia butuh banyak dolar. Harus jaga benar-benar modal yang sudah ada di In­donesia bisa dicegah keluar. Kita upayakan PMA yang masuk dalam equity (penanaman modal),” tutupnya. (dtf)

Close Ads X
Close Ads X