Direvisi Jadi Naik 200 Kali Lipat | Ganti Rugi Salah Tangkap Hingga Rp600 Juta

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) didampingi Dirjen PP Widodo Eka Tjahjana (kanan) berjalan usai melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung mengenai korban salah tangkap di Kemenkumham, Jakarta, Selasa (24/11). Kemenkumham tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 tentang ganti rugi korban salah tangkap dari Rp5000 - Rp1 juta menjadi Rp1 juta - Rp500 juta.ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./nz/15
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kiri) didampingi Dirjen PP Widodo Eka Tjahjana (kanan) berjalan usai melakukan pertemuan tertutup dengan pihak Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung mengenai korban salah tangkap di Kemenkumham, Jakarta, Selasa (24/11). Kemenkumham tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 tentang ganti rugi korban salah tangkap dari Rp5000 – Rp1 juta menjadi Rp1 juta – Rp500 juta.ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./nz/15

Jakarta | Jurnal Asia
Ini warning bagi penegak hukum yang asal-asalan melakukan penangkapan. Pasalnya, Kemenkum HAM telah mengubah besaran uang pengganti bagi korban salah tangkap atau rekayasa hukum. Ganti ruginya kini naik 200 kali lipat, yakni berkisar dari Rp500 ribu sampai Rp600 Juta.

Sebelumnya, kasus korban salah tangkap sudah diatur dalam PP 27/1983. Dalam PP itu korban salah tangkap hanya berhak menerima ganti rugi senilai Rp 5.000 sampai Rp 1 juta.
“Kalau sekarang, kita ubah menjadi Rp 500 ribu sampai Rp 100 juta,” ucap Yasonna di kantornya, Jl Rasuna Said, Jakarta, Selasa (24/11).

Yasonna menjelaskan, untuk korban salah tangkap yang mengalami kekerasan oleh penyidik hingga menyebabkan luka maka besaran ganti ruginya berbeda. “Untuk korban salah tangkap yang menderita luka berat mendapat ganti rugi Rp 25 juta sampai Rp 300 juta,” ucapnya.

Lantas bagaimana bila korban salah tangkap mengalami kekerasan hingga meninggal dunia? Yasonna mengatakan, bagi korban salah tangkap hingga meninggal dunia akan mendapat kompensasi maksimal Rp 600 juta. “Kalau meninggal, dia mendapat Rp 50 juta sampai Rp 600 juta,” ujarnya.

Tak Perlu Berbelit
Pembahasan mengenai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP terkait korban salah tangkap telah dibahas Kementerian Hukum dan HAM bersama sejumlah lembaga penegak hukum dan peradilan, termasuk Mahkamah Agung (MA), Selasa (24/11). Mengenai revisi ini, selain ingin mendukung adanya penyesuaian nominal ganti rugi terhadap korban salah tangkap, Mahkamah Agung (MA) pun berharap ada PP yang dapat memperhatikan prosedur ganti rugi yang lebih mudah.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, berharap dampak revisi terhadap PP Nomor 27/1983 ini dapat memberikan akses keadilan bagi korban salah tangkap dan dapat dilaksanakan lebih sederhana. Dari segi yuridis pun diinginkan agar ada harmonisasi dengan undang-undang (UU) yang lebih tinggi.

“Intinya, PP itu kan payung pelayanan publik. Jadi harus benar-benar pembahasannya, kalau tidak nanti harus revisi lagi. Makanya harus dihindarkan hal-hal yang diluar substansi dan sebaiknya dibuat secara seksama. Sehingga pihak terkait di lapangan ketika PP itu diimplementasikan tidak mengalami kesulitan,” terangnya, Selasa (24/11).

Karena MA juga sebagai pelaksana isi Pasal PP itu, Ridwan mengatakan memang harus ada perbaikan aturan ganti rugi terhadap korban salah tangkap. Karena aturan ini telah berusia 32 tahun, ia mengatakan dari segi nominal angka, ganti rugi terhadap korban memang masih terlampau kecil. Sebab berdasarkan PP Nomor 27/1983 yang berlaku saat ini, maksimal untuk korban salah tangkap hanya Rp 1 juta dan jika mengalami sakit, cacat atau meninggal dunia maksimal hanya Rp 3 juta saja. “Paling tidak, dari segi ganti ruginya masih terlalu kecil. Tapi MA tidak bisa menyebutkan nominal ideal. Karena itu bagaimana tergantung hasil pembahasan,” katanya.

Ridwan mengatakan pihaknya juga menginginkan agar hasil dari revisi PP Nomor 27/1983 itu akhirnya dapat memberikan keadilan yang sederhana dan cepat. “Apalagi itu memang prinsip dari UU kehakiman kita. Jadi prosedurnya itu harus lebih mudah. Ganti rugi itu tidak harus berbelit-belit. Jadi bagaimana bisa dilaksanakan lebih sederhana dan MA juga punya pendirian seperti itu,” terangnya.

Komisioner Komnas HAM, M Imdadun Rahmat, mengungkapkan pihaknya pada dasarnya setuju mengenai rencana revisi PP Nomor 27/1983 itu. Pasalnya, rencana pembahasan revisi PP itu dapat dikatakan sebagai upaya penghormatan terhadap hak asasi manusia terhadap orang yang dibebani penderitaan atas suatu kejahatan yang tidak dilakukannya akibat kelalaian kerja aparat penegak hukum, seperti kepolisian.

“Ini paling tidak juga akan membuat kepolisian akan lebih berhati-hati dalam bekerja. Dari sisi korban, ini merupakan langkah maju. Hak rehabilitasi, hal ini satu garis lurus dengan paradigma baru restorative justice itu,” terangnya.

Perdebatan mengenai nominal ganti rugi yang ideal, Imdadun menyerahkan terhadap pihak terkait yang mengikuti pembahasan revisi PP itu. Hanya saja ia menyarankan agar melibatkan pelbagai pihak karena kerugian korban salah tangkap itu selain kehilangan penghasilan ada pula kerugian secara psikologis. “Nominal itu penting. Sebab bagaimana pun dengan adanya ganti rugi itu, dapat dikatakan sebagai pengakuan dari negara. Ini semacam rehabilitasi,” terangnya.

Para Korban Salah Tangkap/Peradilan Sesat
Kasus salah tangkap/peradilan sesat bukan hal yang jarang di negeri ini. Acapkali penegak hukum hanya kejar target dalam menangkap dan menahan seseorang. Meski banyak kasus salah tangkap/peradilan sesat, rupanya masalah itu belum tuntas.

Sebagai seseorang yang dipenjara tanpa dosa, seharusnya mereka-mereka wajib diberikan kompensasi atau uang ganti rugi oleh negara. Peraturan itu sudah tertuang dalam PP 27/1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Dalam PP itu, korban salah tangkap diberikan ganti rugi Rp 1 juta bagi yang menderita cacat fisik atau meninggal dunia diberi kompensasi senilai Rp 3 juta.

Adilkah?
Di era pemerintahan Jokowi inilah aturan kompensasi bagi korban rekayasa hukum akan direvisi karena dinilai tak adil lagi. Setelah tiga dekade lebih lamanya ayat suci itu tak pernah disentuh. Dikomandani oleh Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Kemenkum HAM (Dirjen PP) Prof Widodo Ekatjahjana, aturan itu akan segera diubah dan diharapkan memiliki rasa keadilan.

Lantas muncul pertanyaan apakah PP ini mendesak untuk direvisi? Ya, jawabannya sangat dibutuhkan. Karena dalam beberapa waktu tahun terakhir jamak terjadi kasus rekayasa hukum yang korbannya notabene rakyat kecil dan buta hukum.

Berikut kasus-kasus salah tangkap yang sudah berkekuatan hukum tetap alias incracht, hasil rangkuman, Selasa (24/11):
1. Dua Pengamen dari Cipulir
Dua pengamen di Cipulir yang menjadi korban salah tangkap, Andro Supriyanto dan Benges akhirnya menghirup udara segar setelah sebelumnya sempat dipenjara karena dituduh membunuh seseorang bernama Dicky pada tahun 1 Oktober 2013 silam.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis 7 tahun kepada Andro dan Benges. Mereka tidak terima dan mengajukan banding di tahun 2014. Alhasil Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutus bebas Andro dan Nurdin dalam kasus pembunuhan ini. Jaksa melayangkan kasasi atas kasus ini tapi ditolak MA.

2. Devi dari Sumut
Devi Syahputra (25) dipenjara selama 3 tahun tanpa dosa terkait tuduhan kepemilikan narkoba. Ia dijebak aparat aparat untuk mau mengakui kepemilikan sabu dalam sebuah razia pada 24 Februari 2011 malam.

Pada 22 September 2011, Pengadilan Negeri (PN) Stabat membebaskan Devi karena tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa. Meski demikian, Devi juga tidak kunjung dilepaskan dari jeruji besi. Malah jaksa mengajukan perlawanan hukum dengan mengirimkan nota kasasi. Namun Maret 2014, MA menjawab kasasi jaksa. Hasilnya, Devi merupakan korban rekayasa hukum. Devidivonis bebas dan dikeluarkan dari jeruji besi.

3. Tukang Ojek Hasan Basri
Polisi menangkap Hasan pada 9 November 2011 di pangkalan ojek Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tanpa ba bi bu, sekitar pukul 20.00 WIB, Hasan dibawa sejumlah polisi ke Polsek Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan. Hasan tetap menyangkal tetapi polisi berkeyakinan lain sehingga Hasan tetap ditahan. Hasan harus mendekam di tahanan Polsek Menteng dan Rutan Salemba.

Setelah bertarung di meja hijau, akhirnya Hasan bisa tersenyum karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena memvonis dirinya tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam perampokan. Vonis itu juga dikuatkan di tingkat kasasi.

4. Kasir Karaoke Sri Mulyati
Kasus bermula pada 8 Juni 2011, tempat karaoke temparnya bekerja digerebek polisi dan Sri saat itu tengah tidak masuk kerja. Dia tiba-tiba disuruh bosnya untuk datang ke kantor pada hari itu juga. Tapi apa yang terjadi? Sri malah ditangkap dan dituduh melakukan trafficking.

Sri Mulyati nyaris putus asa. Hanya lulusan SD dan buta hukum, Sri tidak tahu harus mengadu ke siapa atas apa yang dialaminya. Selama ditahan polisi dan jaksa, Sri tidak tahu harus meminta bantuan hukum ke mana. Padahal, dirinya diancam 10 tahun penjara karena tuduhan mengekspolitasi anak di bawah umur.

Hingga datang LBH Mawar Saron membantunya. Ketika perkara dilimpah ke meja hijau di PN Semarang, majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Sri karena mempekerjakan anak di bawah umur dengan pidana penjara 8 bulan. Di tingkat banding hukuman penjara Sri dinaikan menjadi 1 tahun. Pada 24 Juli 2012, akhirnya Sri bisa menghirup udara segar.

Mahkamah Agung (MA) membebaskan Sri di tingkat kasasi. Sri meminta ganti rugi dan hanya dikabulkan Rp 5 juta. Namun, hingga hari ini gemerincing uang tak kunjung terdengar dari kantongnya.

5. Buruh Pabrik Krisbayudi
Kasus bermula ketika Krisbayudi dituduh polisi terkait pembunuhan sadis yang dilakukan Rahmat terhadap Hertati (35) dan anaknya ER (6) pada 14 Oktober 2011. Krisbayudi yang tidak tahu menahu kasus tersebut dibekuk aparat di parkiran pabrik di Cilincing Jakarta Utara. Selidik punya selidik, aparat membekuk Krisbayudi atas bualan Rahmat.

Saat sidang perdana di PN Jakut, Rahmat tiba-tiba mengaku kepada majelis hakim dia melakukannya seorang diri. Akhirnya, majelis hakim PN Jakut membebaskan Kris dan menyatakan BAP tersebut batal demi hukum. Krisbayudi pun bebas sedangkan Rahmat divonis mati di tingkat kasasi. PN Jakut hanya memberikan ganti rugi kepada Kris sebesar Rp 1 juta untuk penderitaan penahanan selama berbulan-bulan lamanya.

6. Satpam Bank
Satpam Bank BRI Unit Cabang Sukadana, Kabupaten Kayong Utara (KKU), Kalimantan Barat (Kalbar) Iswahyudi diseret oleh rekannya, Agus terlibat kasus pembobolan brankas berisi uang Rp 1,4 miliar pada 7 Agustus 2011. Iswahyudi lalu ditahan selama 98 hari hingga Pengadilan Negeri (PN) Ketapang mengalihkan penahanannya menjadi tahanan kota.

Lara Iswahyudi sedikit terhibur saat PN Ketapang membebaskan dirinya dari segala dakwaan. Iswahyudi tidak terlibat pembobolan dan kejahatan itu hanya dilakukan oleh Agus beserta 3 temannya. Putusan ini dikuatkan oleh MA pada 9 April 2013.

7. Pemulung Chairul Saleh
Pemulung di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat (Jakpus) dituduh memiliki dua linting ganja. Ia digerebek di tepi rel kereta api di dekat rumah bedengnya pada 3 September 2009. Kebebasannya langsung terenggut dan ia harus menghuni bui sejak saat itu. Tapi Pada 3 Mei 2010, Chairul Saleh divonis bebas karena tidak terbukti memiliki ganja dan ia segera berkemas meninggalkan penjara pada malam harinya.

Dapat Dukungan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung rencana Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk menggodok aturan ganti rugi bagi korban salah tangkap. Upaya tersebut dianggap bisa mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya dengan baik dan penuh tanggungjawab.

LPSK juga berharap dengan adanya aturan tersebut maka upaya pengungkapan suatu tindak pidana bisa memberikan rasa adil dan aman bagi masyarakat. LPSK sendiri pernah beberapa kali menemukan dan melindungi korban salah tangkap dari aparat, contohnya dari kasus salah tangkap di Kudus, Jawa Tengah.

“Salah tangkap sendiri bukannya mengungkap tindak pidana, malah bisa menciptakan tindak pidana baru. Ini tentu kontraproduktif dengan upaya penegakan hukum,” kata ‎Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, Selasa (24/11).

‎Terkait besaran ganti rugi, Semendawai berharap tidak hanya minimal Rp500 ribu, melainkan lebih dari itu. Misalnya dengan memperhitungkan hilangnya potensi pendapatan korban salah tangkap baik dari usaha maupun pekerjaan karena harus mengikuti proses peradilan yang seharusnya tidak ia ikuti.

Di sisi lain, LPSK juga mendukung masukan beberapa praktisi hukum yang menyebutkan nilai Rp 100 juta sebagai ganti rugi salah tangkap. “Hilangnya pendapatan tersebut harus ditambahkan kerugian imateril karena ditangkap oleh aparat penegak hukum. Masyarakat kita masih melihat penangkapan sebagai aib, ini harus diperhitungkan,” ucapnya.

Kemudian, LPSK berharap aturan tersebut juga mengatur soal di Kementerian atau Lembaga mana anggaran ganti rugi tersebut. “Hal ini penting agar aturan ganti rugi bagi korban salah tangkap tidak hanya menjadi aturan yang tidak ada implementasinya. LPSK sendiri siap jika diberi amanat untuk menyalurkan ganti rugi tersebut,” kata Semendawai.

Hukum Aparat yang Jadi Pelaku
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Sharon, John Pattiwael, meminta pemerintah memberikan sanksi tegas kepada aparat penegak hukum yang melakukan kesalahan penangkapan atau peradilan sesat di Jakarta, Selasa (24/11). “Bagaimana memberikan efek jera untuk penegak hukum? Di luar negeri aparat seperti itu bisa dipenjara dan dituntut,” kata Pattiwael.

“Bagi saya (salah tangkap) ini menimbulkan kerugian negara sehingga harus ada sanksi untuk aparat yang melakukan kesalahan ini.” Pattiwael menyayangkan biaya yang digelontorkan negara setiap tahun untuk membayar ganti rugi akibat kesalahan yang dilakukan penegak hukum yang ceroboh.

“Bayangkan jika dalam satu tahun ada 1.000 kasus. Hitung berapa yang dikeluarkan negara untuk membayar kesalahan penegak hukum yang salah tangkap. Masa sich negara harus mengeluarkan anggaran untuk kesalahan aparat sementara sanksi untuk aparat belum jelas,” paparnya.

Sejauh ini sanksi yang diterima aparat berupa hukuman administratif tertundanya naik pangkat atau non-aktif dari penugasan yang tidak sebanding dengan derita korban salah tangkap yang dipenjara, kehilangan pekerjaan, hingga sulit memulihkan nama baik.

Ekatjahjana juga menyambut baik usulan atas sanksi kepada aparat yang lalai itu. “Latar belakang filosofinya bagian dari shock terapi untuk meningkatkan prinsip hati-hati dan teliti karena menyangkut hak asasi manusia, dan saya sangat setuju,” kata dia.

Untuk itu, kata dia, jajarannya harus memberikan landasan hukum yang tepat karena tidak semua kasus salah tangkap memiliki bobot yang sama. Misalnya salah tangkap di kerumunan massa pada demonstrasi dengan salah tangkap pada kasus-kasus berat.

“Kami akan menghadapi pertanyaan dari aparat terkait varian delik dan macam-macam. Oleh karena itu untuk sementara kami akan masukan ini sebagai alternatif yang akan kami sampaikan kepada beberapa kementerian,” tambahnya.

“Pada dasarnya, kami sangat mendorong prinsip penyelenggaraan pemerintah untuk menegakkan HAM dan (aparat) harus teliti karena HAM sangat dilindungi. Semangat Peraturan Pemerintah ini adalah untuk membuat pemerintah hadir dalam kasus pelanggaran HAM,” paparnya. (ant/dtc/sp)

Close Ads X
Close Ads X