Ipop Tak Terima Sawit Dari Perusak Lingkungan

Jakarta| Jurnal Asia
Sebanyak lima perusahaan minyak sawit yang menan­da­tangani Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) tidak lagi me­nerima pembelian sawit dari perusahaan mitra yang terindikasi melakukan perusakan ling­kungan.

Managing Director Sus­tainability and Strategic Stake­holder Engagement, Golden Agri Resources Agus Purnomo, di Jakarta, Senin (5/10) menga­takan, perusahaan mitra pemasok sawit tersebut umumnya peru­sa­haan menengah bukan dari petani kecil.

“Jadi IPOP tak pernah meng­hentikan pembelian dari petani kecil. Yang ada (meng­hentikan pembelian dari) peru­sahaan me­nengah yang mengem­bang­kan kebun-kebunnya di lahan yang hutannya masih bagus,” kata Agus Purnomo.

IPOP yang diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) ditandatangani di New York, AS pada 24 Sep­tember 2014 di sela ajang UN 2014 Climate Summit. Saat itu perusahaan yang ter­libat penandatanganan yakni Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill, Asian Agri dan pada Maret 2015 Musim Mas turut bergabung.

Agus menyatakan, peru­sa­haan yang diduga merusak ling­kungan tersebut yakni peru­sahaan menengah yang men­jadi mitra tidak menerapkan prinsip nol deforestasi bahkan sembarangan menebang hutan atau menanam di lahan gambut.

Namun demikian, lanjutnya, penghentian pembelian dila­ku­kan setelah perusahaan mela­kukan dialog hingga lima kali dan tidak dilakukan semena-mena. Dikatakannya, perusahaan anggota IPOP, terlebih dahulu melakukan klarifikasi terhadap perusahaan menengah yang menjadi mitra .

“Kami juga menegaskan jangan menambahakan defo­restasi. Tapi dalam praktiknya, ada saja perusahaan yang mem­bandel. Perusahaan tersebutlah yang diputus kerja samanya. Sikap tegas tersebut tidak lain dalam rangka berkomitmen terhadap ikrar IPOP,” katanya.

Dia mengakui, pasca­pemu­tus­an kerja sama, beragam tu­­duhan berdatangan ke ang­gota IPOP, di antaranya, peru­sa­haan dituduh melakukan mono­poli, bahkan, dilaporkan ke pemerintah karena membuat petani dari kalangan masyarakat kesulitan menjual sawit. “Kami tegaskan, perusahaan tidak pernah menghentikan pem­­belian dari petani kecil dan swadaya, yang ada yakni menghentikan pembelian kepada perusahaan menengah yang nakal,” tuturnya.

Penghentian kerja sama dengan perusahaan menengah yang terindikasi merusak ling­kungan itu dilakukan sejak akhir September 2015, dan melibatkan sekitar enam perusahaan.
Menurut dia, dampak dari ke­bijakan itu perusahaan ke­hilangan pasokan dengan total 200 ribu ton tandan buah segar (TBS). Daya saing Sementara itu Direk­tur Eksekutif IPOP Nurdiana Darus menyatakan, IPOP meru­pakan salah satu upaya untuk mening­katkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar in­ternasional.

Menurut Nurdiana Darus, saat ini Indonesia merupakan ne­­gara pengekspor minyak sawit utama di dunia dengan volume men­capai 22 juta ton dari total produksi 33 juta ton per tahun serta menghasilkan devisa lebih dari 15 miliar dolar AS.

“Jika kita tidak melakukan perubahan-perubahan kita bisa tidak nomor satu lagi (sebagai eks­portir minyak sawit) bahkan akan kehilangan devisa 15 miliar dolar AS,” katanya.
Nurdiana mengatakan, se­lain meningkatkan daya saing produk minyak sawit na­sional, penerapan IPOP juga me­nga­rah pada praktik berkebun tanpa perusakan hutan atau bebas deforestasi, bebas dari pe­nanaman di lahan gambut serta bebas dari konflik sosial.

Selain itu, lanjutnya, penera­pan IPOP sebagai upaya untuk me­ning­­katkan percepatan penerapan ISPO (Indonesia Sus­tainable Pal Oil) bagi petani kecil yang lamban tingkat realisasinya.
“Saat ini ada 400 ribu lebih petani yang merupakan anggota IPOP dan ini bisa langsung disasar dalam penerapan ISPO,” katanya. (ant)

Close Ads X
Close Ads X