Rupiah Melemah | Industri Plastik Hilir Butuh Pengetatan Impor

Jakarta | Jurnal Asia
Asosiasi Industri Olefin dan Plastik Indonesia (Inaplas) me­nga­takan momentum pengua­tan dollar terhadap ru­piah membuat industri plastik mem­butuhkan pengetatan impor un­tuk melindungi produk dalam negeri.

“Dengan pelemahan rupiah, akan lebih banyak barang impor yang beredar dengan harga jual yang lebih murah, sehingga perlu pengetatan,” kata Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiyono, di Jakarta, Kamis (27/8).

Dia mengatakan, pengetatan tersebut bisa dilakukan dengan tidak mengimpor berbagai pro­duk hilir plastik yang bisa di­pro­duksi di dalam negeri, sehingga pe­nyerapannya lebih maksimal.
Saat ini, lanjut dia kebutuhan barang jadi plastik nasional mencapai 4,5 juta ton dengan kapasitas produksi nasional men­capai 3,2 juta ton, se­hing­ga masih ada 1,3 juta ton kebutuhan produk plastik yang perlu diimpor. “Namun, pe­me­rintah perlu selektif dalam me­lakukan impor tersebut, yang bisa diproduksi di dalam negeri ya jangan diimpor,” ujarnya.

Meski demikian, untuk industri hilir plastik, dia mengatakan, pelemahan rupiah tidak menjadi persoalan, pasalnya saat ini harga minyak mentah sedang turun, sehingga bahan baku industri petrokimia yaitu nafta/minyak mentah olahan ikut turun. “Namun hal ini mungkin tidak terjadi lama, sehingga kestabilan rupiah juga diperlukan,” katanya.

Pada Kamis (27/8), kurs tengah Bank Indonesia mencatat nilai tukar dollar terhadap rupiah mencapai Rp14.128 per dolar Ame­rika Serikat. Sedangkan har­ga minyak mentah Brent Crude Oil sebesar 43,14 dollar AS per ba­rel dan WTI Crude Oil sebesar 38,60 dollar Amerika Serikat perbarel.

Perberat Beban Industri Tekstil
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang pada Kamis (27/8) sudah menyentuh angka Rp14.128 per dolar AS mulai di­rasakan memberatkan oleh industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri karena 80 persen bahan baku produksi mereka masih mengandalkan impor.

“Menyentuh angka Rp14.000 buat industri tentu makin berat, karena harus membeli bahan baku pakai dolar AS,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat.
Di antara bahan baku yang masih diimpor adalah serat kapas yang tidak bisa tumbuh secara ekonomis di negara tropis dan bahan baku garmen yang tetap harus diimpor.

Ade mengatakan, yang paling rentan terpengaruh depresiasi rupiah adalah perusahaan yang orientasi pasarnya hanya dalam negri karena saat ini mereka akan semakin sulit menjual produknya di tengah angjloknya daya beli masyarakat dalam negeri.

Menurut Ade, tekanan eko­nomi akibat rupiah yang lemah mem­buat masyarakat tidak me­nyi­sakan anggaran untuk membeli kebutuhan barang se­kun­der, seperti produk tekstil. “Sampai saat ini sudah ada be­berapa yang tutup, yang ber­aki­bat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lebih dari 36 ribu orang,” kata Ade.
Tetapi ada perusahaan yang justru relatif diuntungkan oleh depresiasi rupiah, yakni peru­sa­haan-perusahaan tekstik yang berorientasi pasar ekspor. (ant)

Close Ads X
Close Ads X