Biaya IMB Akan Dipangkas 95 Persen

Jakarta | Jurnal Asia
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan akan mengurangi biaya izin mendirikan bangunan (IMB) sebesar 95 persen dari harga seharusnya bagi masyarakat melalui sebuah peraturan menteri (permen). Menurut Tjahjo, permendagri ter­sebut telah disusun dan akan segera diserahkan kepada Pre­siden Joko Widodo agar bisa disahkan.

“Saat ini masyarakat me­ne­ngah ke bawah sulit memiliki ru­mah, salah satunya karena un­dang-undang mengatur ada biaya khusus untuk IMB. Karena itu saya menyusun permendagri yang akan memberikan diskon 95 persen untuk IMB ,” ujar Tjah­jo saat meresmikan Program Studi Ilmu Politik Universitas Kristem Indonesia, di Gedung UKI, Jakarta, Kamis (27/8).

Ia menambahkan, dirinya meyakini Presiden Joko Widodo akan menyetujui permendagri tersebut karena bertujuan untuk memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat. Selain itu, melalui permen tersebut Kemendagri juga ingin mempersingkat perizinan dalam pembangunan rumah susun untuk masyarakat. “Pembangunan jangan sampai tertunda. Biasanya anggaran ada, investor juga sudah ada tetap terkendala di perizinan,” tuturnya.

Fakta di lapangan, lanjut Tjahjo, bahkan sebuah proyek bisa terkendala selama setahun lebih hanya karena menunggu izin. “Misalnya pembangunan pembangkit listrik, menunggu izinnya saja bisa sampai 1,5 tahun, belum lagi menyelesaikan masalah lahan, lingkungan dan lain-lain. Ini harus diperpendek agar pembangunan lebih efektif,” ujarnya.

Soroti Isu Ketersediaan Rumah
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menjadikan kesenjangan antara kebutuhan rumah di tengah masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sebagai salah satu isu strategis

“Isu strategis utama di bidang perumahan yaitu pertama, mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan penyediaan rumah sebesar 13,5 juta unit,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.

Menpupera juga mengingatkan bahwa pemerintah juga menyoroti persoalan tempat tinggal yang tidak layak huni sebesar 3,4 juta unit dan mengatasi permukiman kumuh yang diperkirakan mencapai seluas 38.431 hektare (ha) secara keseluruhan di berbagai daerah.

Untuk itu, pihaknya juga mengingatkan bahwa peran para pelaku sektor properti serta perbankan dalam memberikan kredit yang terjangkau juga diperlukan dalam rangka menyukseskan Program Sejuta Rumah. “Tanpa kerjasama yang saling bahu membahu ini, program sejuta rumah tidak akan terlaksana dengan baik. Karena Pemerintah hanya mampu menyediakan 10 persen dari target,” urainya.

Ia juga mengajak para pengembang besar untuk menjaga pasokan rumah sederhana sehingga kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah secara bertahap dapat segera terpenuhi. Menpupera mengemukakan alokasi anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat sebesar Rp103,8 triliun dalam RAPBN 2016. Dana ini secara sektoral untuk Sumber Daya Air sebesarRp 24 triliun, Bina Marga Rp42 triliun, Cipta Karya Rp 14 triliun itu untuk air minum dan sanitasi, lalu penyediaan perumahan Rp6 triliun, di luar FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) sebesar Rp 9,3 triliun.

Beda di Inggris dan Indonesia
Di Indonesia, siapapun bisa menjadi pengembang. Asal punya modal, mengerti atau tidak soal properti tidak penting. Rendahnya pengawasan ini, mengakibatkan banyak proyek-proyek perumahan berskala sangat kecil di beberapa daerah.

Karena belum paham betul soal bisnis properti, banyak pengembang kecil yang “kaget” menerima uang muka dalam jumlah besar. “Sudah keenakan dapat uang down payment (DP), eh uangnya dipake beli mobil. Saat bisnisnya bangkrut, DP konsumen tidak dikembalikan,” ujar Director Era Vigo, Riduan Gohm, Kamis (2678).

Hal ini, kata Riduan, sering ia temukan di lapangan. Begitu pula dengan agen propertinya. Kebanyakan, hanya bermodal memasang banner iklan properti. Sementara pengetahuan agen tentang bisnis properti, sangat kurang. Para agen ini hanya perlu mengantarkan calon pembeli kepada komisi.

Adapun di Inggris, menurut CEO Golden Sands Development Dato Amir, tidak bisa semudah itu menjadi pengembang dan membangun rumah atau apartemen. Pasalnya, peraturan untuk membangun gedung di negara kerajaan ini sangat ketat.

“Saya dengar kalau di sini tidak ada perlindungan. Kalau pengembang bangkrut, uang konsumen hilang. Di Inggris, uang konsumen dilindungi hukum melalui asuransi pengacara,” jelas Amir.
Hukum untuk pengembang di Inggris sangat ketat. Prosesnya memang hampir sama dengan di Indonesia, yaitu saat meluncurkan proyek, pengembang harus meminta persetujuan. Di Inggris, prosesnya memakan waktu 3-6 bulan. Namun begitu, pengembang dituntut lebih detail yakni harus memberikan rencana induk dan rencana detail antara lain gedung, arsitektur, lantai, sanitasi, dan keamanan.

Salah satu detail yang tidak ada di Indonesia adalah accoustic report. Laporan ini berisi studi kelayakan besarnya suara yang diterima seorang penghuni di dalam unit, misalnya dengan material peredam suara, seberapa efektif meredam kebisingan di satu unit. Selain itu, bangunan di Inggris juga harus melewati tes kelayakan akses transportasi. Artinya, pengembang harus memikirkan berapa banyak penghuni di dalam gedung dan bagaimana mereka bisa mengakses transportasi.

Tidak hanya itu, bangunan baru di Inggris harus mendapatkan heritage report. Laporan ini berisi apakah apartemen tersebut memengaruhi bangunan bersejarah di sekitarnya. Total laporan yang perlu diserahkan oleh pengembang, kata Amir, berjumlah 11 laporan. Setiap laporan memiliki studi tersendiri. Jika tidak sesuai dengan ketentuan, tambah dia, rencana pembangunan harus ditinjau ulang dan diperbaiki. “Setelah sudah jadi, kontrol bangunan juga sangat ketat. Petugas akan menginspeksi gedung setiap bulan,” jelas Amir. (kcm/ant)

Close Ads X
Close Ads X