MUI Fatwa Haram BPJS Karena Bunga

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memutuskan bahwa penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariat (hukum Islam), menimbulkan polemik. Namun MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Tanah Air itu, tentu tidak serta-merta mengeluarkan fatwa tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla me­ngatakan masih akan menyelidiki lebih lanjut soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan pe­nye­lenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak sesuai dengan prinsip syariah. Jusuf Kalla mengaku belum membaca secara keseluruhan soal fatwa tersebut.

“Saya memang belum baca, tapi yang dimaksud halal itu jelas, agama Islam itu sederhana. Selama tidak haram ya halal,” kata Kalla, di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Na­sional (Bappenas), Rabu (29/7).

“Pertanyaannya apanya yang haram. Itu masih kami kaji.”Diketahui bahwa fatwa atau keputusan MUI itu dikeluarkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diseleng­garakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H, alias 7-10 Juni 2015.

Fatwa terkait BPJS Kesehatan ini tercantum di keputusan Komisi B 2, terkait masalah fikih kontemporer, tentang panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan. Dalam keputusan itu dideskripsikan bahwa MUI memperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah. Dengan merujuk pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, tampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.

Terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan.

Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja. Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.

Dari deskripsi tersebut, MUI kemudian merumuskan beberapa masalah yakni: apakah konsep dan praktik BPJS Kesehatan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah memenuhi prinsip syariah? Jika dipandang belum telah memenuhi prinsip syariah, apa solusi yang dapat diberikan agar BPJS Kesehatan tersebut dapat memenuhi prinsip syariah? Apakah denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang dikenakan kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan prinsip syariah?
UI kemudian mencatat ketentuan hukum dan rekomendasi. Pertama, penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

Kedua, MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan pelayanan prima. Sebentar! Tak cukup sampai di situ, MUI juga punya dasar menetapkan hal yang bagi sebagian atau bahkan banyak pihak dianggap menghebohkan ini.

Dari Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin saat dihubungi , Selasa (28/7) malam sudah membenarkan adanya fatwa tersebut. “Ya BPJS (Kesehatan) yang ada sekarang itu belum ada yang syariah, masih konvensional semua. Jadi memang harus ada BPJS yang diloloskan secara syariah,” kata Ma’ruf.

MUI, kata Ma’ruf mendorong agar pemerintah segera merubah sistem BPJS Kesehatan syariah. Bahkan dia menggolongkan kondisi BPJS Kesehatan dalam kondisi darurat. “Ya betul. Sesegera mungkin (bentuk yang syariah). Ya itulah, itu yang jadi darurat, karena wajib BPJS tapi sistemnya belum ada yang syariah,” tuturnya. (tc/jp)

-Secara Prinsip Kami Sudah Syariah
Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan lembaganya telah menjalankan prinsip syariah dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pernyataan itu dilontarkan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan bahwa program pemerintah yang kini digulirkan BPJS Kesehatan tidak memenuhi prinsip syariah.

“Kalau secara esensi, BPJS Kesehatan sudah sesuai prinsip syariah, salah satunya adalah gotong royong. Prinsip asuransi takaful telah kami terapkan, seperti tolong-menolong,” kata Irfan, Rabu (29/7).

Irfan menjelaskan selama ini iuran yang diterima BPJS Kesehatan sebagian besar telah dikucurkan untuk kepentingan peserta. “Itu sudah sesuai prinsip syariah meskipun kami tidak menyertakan label syariah,” tuturnya.

Pernyataan itu sekaligus membantah bahwa BPJS Kesehatan telah dinyatakan haram oleh MUI. Apalagi BPJS Kesehatan hingga kini belum mendapatkan pernyataan haram tersebut secara resmi dari MUI.

“Yang kami dapatkan dari MUI adalah sejumlah rekomendasi, bukan fatwa haram. Rekomendasi dari komisi fatwa MUI yaitu agar pemerintah dapat menerapkan jaminan kesehatan berdasarkan prinsip syariah,” katanya.

Karenanya Irfan mempertanyakan kabar yang mengatakan BPJS Kesehatan dinilai haram oleh MUI. Dia bahkan mengapresiasi MUI yang telah memberi perhatian atas keberadaan lembaganya. “”Setahu saya belum muncul kata-kata bahwa BPJS Kesehatan haram. Namun ini sedang dikofirmasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional,” tutur Irfan.

Menurut Irfan, BPJS Kesehatan hanya operator dan bukan regulator. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika memang anggaran BPJS Kesehatan di masa mendatang disimpan di instusi syariah. “Yang penting prinsipnya syariah, bukan labelnya,” katanya. (cnn/ant/jp)

Close Ads X
Close Ads X