Tambang Freeport Dipangkas Dari 2,6 Juta Ha Jadi 100 Ribu Ha

Jakarta | Jurnal Asia
Akibat pembatasan luas wilayah pertambangan yang diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, luar lahan operasi PT Freeport Indonesia di Papua terpangkas dari 4,6 juta hektar, menjadi hanya 100 ribu hektar saja.

“Berapa lahan Freeport melakukan proyeknya? Saat ini sekitar 213 ribu hektar, akan menjadi 100 ribu hektar. Kita akan perkecil lagi sesuai dengan Undang-Undang Minerba yang tadinya 2,6 juta hektar,” ungkap Direktur Utama Freeport Indonesia, Maroef Sjamsuddin, ditemui di sela-sela acara Rakernas Kadin Indonesia Timur di Jakarta, Senin (25/5)

Maroef mengatakan, dari jumlah 2,6 juta hektar yang dikelola sebelumnya, sangat kecil bila dibandingkan luas lahan di Papua yang mencapai 42 juta hektar. Dari 2,6 juta hektar sendiri, yang baru garap kurang dari 213 ribu hektar. “Luas Papua mencapai 42 juta hektar, Freeport saat ini 213 ribu hektar,” ucap Maroef.

Pemangkasan luas wilayah sendiri, merupakan salah satu poin yang tercantum dalam renegosiasi kontrak Freeport dengan pemerintah Indonesia. Ada enam isu pokok yang difokuskan untuk direnegosiasi, yakni luas wilayah kontrak karya, kandungan lokal, divestasi saham, pengolahan dan pemurnian, penerimaan negara, dan kelanjutan operasi.

Namun, sampai saat ini renegosiasi kontrak belum bisa diselesaikan, karena ada tiga isu yang belum disepakati antara kedua belah pihak. Pertama terkait divestasi saham, penerimaan negara, dan kelanjutan usaha atau perpanjangan kontrak.

Freeport sendiri sudah berinvestasi dan menambang emas dan tambang di Indonesia selama 48 tahun atau sejak tahun 1967. Tidak mudah investasi di Indonesia Timur, terutama di Papua yang sejak dari dulu minim infrastruktur.

“Kalau kita lihat sejarah tentu tak bisa lepas dari sejarah kemerdekaan, saat itu belum ada investor masuk ke Indonesia. Sejak Presiden Soeharto mulai menjabat. Berapa inflasi kita 600%, Freeport itu pelopor,” kata Maroef lagi.

Maroef mengungkapkan, investasi Freeport di Papua yang selama 48 tahun tidak akan bisa dilakukan tanpa ada kepastian dari pemerintah. “Tentu dengan usia 48 tahun ada hal yang dilakukan dari Freeport tak lepas dari orientasi geostrategi. Kalau berhubungan investor yang diperlukan adalah kepastian,” katanya.

Namun, selain kepastian dari pemerintah, investor yang investasi di Indonesia Timur juga harus paham kondisi geostrategi, geopolitik, dan geo socio cultural. “Saya masih ingat, pertama bertugas di Papua, saya aktif Perwira Militer 1984. Ternyata 34 tahun saya bertugas Papua belum selesai. Kemudian jangan dilupakan, kalau berinvestasi geosociocultural, papua sangat spesifik. Itu harus kita hormati, harus patuh. Dan juga kondisi hukum adat setempat, Papua punya kondisi tersendiri. Tak mudah berinvestasi di sana tanpa melakukan pemahaman,” terangnya. (dc)

Close Ads X
Close Ads X