Medan | Jurnal Asia
Sekira 2.000 umat Buddha padati kegiatan Dhamma Talk yang digelar oleh Indonesia Theravada Buddhist Centre (ITBC) di Selecta, Sabtu (16/5) malam dengan tema “What’s Left After The Buddhas’s Enlightenment” (Apa yang Buddha Wariskan setelah Penerangan Sempurna). ITBC Dhamma Talk yang dihadiri oleh anggota Sangha dari ITBC dan Bhikkhu dari Tailand menghadirkan nara sumber Luangpor Phoosit yang juga dikenal sebagai “Tiger Temple” Thailand. Phra Wisutthisarathen (Phoosit Khantitaro) dahulunya adalah lulusan Master Degree jurusan Politik dari City Universy London, Inggris. Beliau ditahbiskan pada tahun 1981 di Wat Prathumvanaram, Bangkok, Thailand. Kemudian memperdalam Dhamma selama 7 tahun di Wat Pa Baan Taat di bawah bimbingan Luangta Maha Bua Yannasampano dan setelah itu beliau juga berlatih meditasi di hutan-hutan hingga akhirnya memutuskan untuk menetap di Phutoei Cave, Kanchaburi. Beliau adalah pendiri Vihara Wat Pa Tum Phutori dan Wat Pa Luanta Maha Bua Tannasampanno Forest Monatery yang biasa disebut “Tiger Timple”.
Luangpor Phoosit melalui moderator sekaligus penerjemah, YM Bhikkhu Khemanando Thera dalam memberikan wejangan menjelaskan, ajaran Buddha sudah berada di dunia ini lebih dari 2.600 tahun dan kita memahami ajaran agama Buddha melalui guru-guru besar. Pertama kali beliau (Sang Buddha) mencapai penerangan sempurna beliau sangat menderita.
Setelah itu, beliau belum merealisasi apa yang didapat, beliau hanya ingin melihat dirinya, diri kita dan ingin mencari obat untuk menghacurkan kekotoran bathin dan untuk menyingkirkan penderitaan dalam kehidupan. Meskipun beliau anak raja yang begitu banyak materi tetapi tetap mencari obat untuk menyingkirkan penderitaan. Pada saat itu, beliau diganggu oleh Mara dan Mara itu berbicara setelah merealisasikan kesempurnaan maka cepat-cepatlah mati.
Sang Buddha berfikir, siapa sebenarnya si Mara itu (pengganggu) dan beliau mencari dan mencari sampai mencapai kesempurnaan. Dan akhirnya, Mara itu menyerah karena gangguan itu tidak mampu memberikan suatu kontribusi untuk menyingkirkan beliau. Dan pada saat itulah beliau mencapai penerangan sempurna, dan sadar lalu bertanya sesungguhnya siapa dia. Dan jika tidak ada yang memberikan wejangan, siapa yang memberi wejangan, kalau ada yang memberikan wejangan, siapa yang akan mendengar wejangan dan akhirnya sadar bahwa saat inilah beliau akan memberikan wejangan.
“Saat itu, beliau ingat dengan kedua guru besarnya namun sudah meninggal. Dan beliau berfikir siapa yang pantas untuk diberi wejangan. Dan pada saat itu beliau melihat ada teman-temannya Panca Vagiya (5 pertapa),” katanya, Sabtu (16/5) malam.
Pada saat beliau ingin menemui Panca Vagiya, di jalan beliau banyak menemui orang-orang tetapi belum mengajarkan dan hanya memberikan sarana (perlindungan kepada Buddha dan Dhamma). Tetapi saat mendekat kepada Panca Vagiya, mereka mencemooh beliau karena mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh sang Buddha seperti sebelum beliau mencapai kesempurnaan. Pada saat itu, kelima Vagiya berunding tidak akan menerima sang Buddha tetapi atas kebajikan-kebajikan beliau akhirnya secara otomatis kedatangan beliau diterima.
“Pada saat itu secara otomatis Panca Vagiya menerima kedatangan beliau, meski jasmani menerima tetapi hati dan pikiran mereka tetap belum bisa menerima. Dan saat itulah beliau membabarkan dhamma yang beliau peroleh,” ungkapnya.
Kemudian mereka tahu ketika sebab itu lenyap maka akibat itu juga lenyap dan ketika sebab tidak muncul maka akibat tidak muncul. Beliau menyampaikan praktek adalah salah satu cara untuk memahami kondisi muncul dan tenggelam.
Dan ketika praktek itu disempurnakan maka si pelaku akan terbebas dari penderitaan dan si pelaku memahami tentang 4 kesenyataan mulia. Yakni Dukkha Ariya Sacca, Dukkha Samudata Ariya Sacca, Dukkha Nirodha Ariya Sacca dan Dukkha Nirodha Gamini Patipada Mangga.
“Citta itu ada di dalam diri kita. Kalau kita mengalami penderitaan, kita tahu tidak sebabnya apa? Kalau kita tahu sebab penderitaan itu muncul, kita akan mengalami dan berusaha melenyapkan penderitaan. Kalau kita tidak berusaha melenyapkan penderitaan, siapa yang akan melenyapkan? Kalau kita tidak berusaha lalu siapa yang berusaha?
Maka itulah kita tahu bathin kita, kesadaran kita maka mari kita berusaha melenyapkan penderitaan kita. Buddha, Dhamma dan Sangha ada di dalam diri kita, diri kita adalah pelindung bagi diri kita sendiri,” jelasnya.
Sebelumnya Ketua Panitia, Johan Ramli mengatakan, mendengarkan Dhamma merupakan berkah utama. Dhamma talk ini merupakan lanjutan program yang sudah dilakukan. Melalui mimbar ini, kami keluarga besar ITBC mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung kegiatan ini.
“Karena kebajikan semua pihak, acara ini terselenggara dengan baik. Dhamma yang disampaikan dari Guru Agung begitu indah pada mulanya, pertengahannya dan akhirnya. Kami berkomitmen Dhamma yang disampaikan Sang Buddha akan terus dikembangkan secara bijaksana,” pungkasnya. (netty)