Pemerintah Target Ekspor Minerba Senilai 17 Miliar Dolar

Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah menargetkan ekspor mineral dan bahan tambang hingga 17 miliar dolar AS pada 2016, dengan perkiraan pabrik pemurnian atau smelter yang mulai dibangun sejak tahun 2015 telah beroperasi penuh. “Nanti tahun 2016 ekspor menjadi 17 miliar dolar AS, itu termasuk konsentrat dan tembaga,” ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, R Sukhyar seusai rapat koordinasi membahas perkembangan pembangunan smelter di Jakarta, Senin (30/3) malam.

Sukhyar menjelaskan, per­kiraan tersebut lebih tinggi dari ekspor minerba dalam bentuk ore, bauksit, nikel dan pasir besi yang hanya mencapai 15,1 miliar dolar AS pada 2013, ketika larangan ekspor bahan mentah mineral belum sepenuhnya berlaku.

Ia juga melaporkan per­kembangan pembangunan enam smelter nikel yang siap beroperasi dan dua smelter nikel yang sepenuhnya telah beroperasi pada 2015, serta seluruhnya merupakan kontribusi investor dan menggunakan teknologi dari Tiongkok.

Fasilitas smelter itu antara lain dikelola PT Antam, Komala yang rencananya beroperasi awal Oktober 2015 dan memiliki produksi 10 ribu ton feronikel serta PT Bintang Delapan yang beroperasi awal April 2015 dan mempunyai produksi 300 ribu ton Nickel Pig Iron (NPI).

“Bintang Delapan ini ren­cananya tanggal 2 (April) ini akan diresmikan, berkapasitas 300 ribu NPI. NPI ini merupakan salah satu varian dari smelter bijih nikel,” ujar Sukhyar, yang menambahkan dua smelter telah beroperasi yaitu PT Indoferro dan PT Cahaya Modern Metal Industri.

Selain itu, PT Gebe Sentra Nickel siap memproduksi 6.000 ton nikel murni, Mining Nusantara memproduksi 21 ribu ton NPI, PT Macika Mineral Industri memproduksi 53 ribu ton NPI dan PT Karyatama Konawe Utara memproduksi 50 ribu ton NPI.

“Tahun 2016 akan ada tambahan 12 lagi yang akan selesai untuk smelter nikel ini. Total, 20 smelter nikel selesai tahun depan. Nantinya ada 35 smelter nikel yang mau dibangun, tapi jangan sampai produksinya berlebihan karena bisa menghantam Indonesia juga,” kata Sukhyar.

Untuk smelter bauksit, kemajuan pabrik pemurnian yang diupayakan PT Harita sudah mencapai 49 persen dan PT Indo Kapuas sudah 20 persen. Sedangkan, PT Bintan Alumina telah mendirikan infrastruktur namun konstruksinya belum berjalan, dan PT Antam belum ada kemajuan.

Sementara, untuk smel­ter pasir besi, kemajuan pembangunannya sudah mencapai di atas 50 persen antara lain fasilitas pemurnian yang dikelola PT Sebuku Iron Lateristic Ores (SILO), PT Sumber Suryadaya Prima, PT Megatop Inti Selaras, PT Adiguna Usaha Semesta, PT Quantum dan CV Sumber Mas.

359 Perusahaan Tambang Timah Bermasalah
Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah perusahaan tambang timah di Tanah Air mencapai 677 izin usaha pertambangan (IUP). Sekitar 53% diantaranya masih bermasalah.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 359 IUP atau sekitar 53% berstatus non clean and clear (CnC) alias masih bermasalah, baik karena persoalan administrasi maupun tumpang tindih perizinan lahan.

Direktur Pembinaan Program Mineral Batubara Kementerian ESDM, Sujatmiko, menjelaskan lokasi tambang timah tersebar di dua provinsi, yakni sebanyak 634 perusahaan di Bangka Belitung, dan 43 IUP berada di Kepulauan Riau.

“Di Bangka Belitung, rincian IUP operasi produksi mencapai 587 perusahaan yang sudah CnC sebanyak 256 perusahaan dan IUP non CnC sejumlah 331 perusahaan. Sedangkan IUP eksplorasi totalnya ada 47 perusahaan dengan 27 perusahaan CnC dan 20 IUP non CNC,” kata Sujatmiko.

Sementara, di Kepulauan Riau IUP operasi produksi sebanyak 15 perusahaan yang seluruhnya sudah memegang sertifikat CnC. Sedangkan IUP eksplorasi jumlahnya mencapai 28 perusahaan dengan yang sudah CnC sebanyak 20 perusahaan, dan sisanya merupakan IUP non CnC.

Terkait dengan rencana re­visi Peraturan Menteri Per­dagangan Nomor 44 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah, Sujatmiko bilang, pihaknya tengah membahas bersama dengan Kementerian Perdagangan.

Rencana, pemberian reko­mendasi eksportir terdaftar (ET) kewenangannya akan diambil alih dari provinsi menjadi ke Kementerian ESDM. Dengan begitu, penyertaan dokumen CnC akan menjadi syarat wajib bagi perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi izin ekspor.
(ant-kci)

Close Ads X
Close Ads X