Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah mewajibkan industri gula rafinasi wajib membuka lahan tebu untuk keberlangsungan industrinya. Bila tidak, izin perusahaan tersebut bakal dicabut. Aturan ini juga berlaku bagi pabrik gula rafinasi yang sudah beroperasi. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, telah sepakat dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai kebijakan tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, industri gula rafinasi harus membuka lahan dalam kurun waktu tiga tahun.
”Kita bicara tentang misalnya, bagaimana kita menyamakan kebijakan di industri gula. Pertama misalnya, ada ketentuan terkait dengan undang-undang perkebunan yang mengharuskan industri yang berbahan baku impor, dalam tiga tahun harus mendirikan kebun,” kata Franky di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Jakarta, Senin (2/3).
Selama ini, bahan baku industri gula rafinasi masih bergantung pada impor gula mentah atau raw sugar, karena pasokan di dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan industri. Kewajiban industri gula rafinasi untuk membuka lahan tebu sudah diwacanakan pemerintah, namun lagi-lagi persoalannya adalah kesulitan mencari lahan yang cocok, sesuai, dan tidak mudah dibebaskan.
Pemerintah, lanjut Franky, bakal memberikan fasilitas bagi industri gula rafinasi yang serius berkomitmen, untuk membuka lahan tebu, sehingga bisa menekan angka impor raw sugar, yang pada akhirnya terciptalah swasembada gula.
”Dalam hal ini kita sepakat membantu dari sisi lahan. Meski ini harus dikomunikasikan lagi oleh industrinya. Tapi sebagai tanggung jawab kita pada investor kesulitan tanah, kita akan bantu itu,” katanya.
Bila pelaku industri gula rafinasi tidak berniat, atau secara sengaja tak ingin membuka lahan tebu, maka tidak tanggung-tanggung pemerintah, akan mencabut izin perusahaan tersebut. “Selama ini kan kita dorong, kali ini pemerintah dalam konteks melindungi investor. Kalau sudah difasilitasi, tapi tak juga melakukan investasi yang tadi (buka lahan tebu), maksimalnya (sanksi) bisa dicabut,” papar Franky.
Sebelumnya, BKPM menggelar rapat tertutup dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin, pembahasan mengenai kebijakan terhadap industri gula rafinasi itu menjadi salah satu pokok bahasan yang dibincangkan.
Selain itu, lanjut Franky, rapat juga membahas mengenai perizinan industri gula rafinasi itu sendiri. Selama ini, industri gula rafinasi masuk dalam daftar negatif investasi (DNI), di mana pemerintah tidak memberikan izin ada industri baru di sektor ini. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah masih memberikan izin prinsip untuk investasi ini. Sayang, Franky tak menyebut daerah mana yang mengeluarkan izin tersebut.“Kita harus konsolidasi lagi mengenai perizinan ini. Kemenperin me-review kembali apakah izin ini bisa diserahkan ke daerah,” tuturnya.
Persoalan lainnya adalah mengenai industri garam. Pemerintah tengah menggenjot produktivitas garam terutama untuk garam konsumsi. Investasi-investasi garam yang masuk di Indonesia yang masih terganjal persoalan izin, atau lahan, bakal dipercepat pemerintah. “Seperti yang ada di Nusa Tenggara Timur, itu kita akan bantu,” katanya.
Pemerintah juga bakal menyamakan persepsi, mengenai industri padat karya yang dalam hal ini mengenai upah minimum regional (UMR) dan upah minimum provinsi. “Salah satunya adalah kepastian kenaikan UMR,” sebut Franky.
Industri padat karya juga lanjut Franky bakal menjadi prioritas dalam mendapatkan insentif pajak berupa tax allowance, karena industri ini merupakan salah satu motor penggerak perekonomian.
“Kita perlu mengusulkan kembali sektor garmen. Kemudian kita mendorong untuk alas kaki, furniture, secara spesifik kita akan usulkan juga, untuk supaya beberapa daerah kita dorong untuk mendapatkan insentif,” katanya.
Terakhir, Franky menyebut, pemerintah juga bakal mendorong investasi di kawasan Timur Indonesia. Investor yang menanamkan modalnya di kawasan tersebut, bakal dipertimbangkan untuk mendapatkan insentif dari pemerintah. “Kami Kemenperin dan BKPM sepakat mendorong investasi di Papua. Beberapa di antaranya kita sepakat mendorong insentif, yang terkait dengan misalnya pertanian atau perkebunan itu hulu hilir,” tutupnya. (dc)