Kenaikan “Listing Fee” Picu Emiten Kecil dan Menengah Terjepit

Jakarta | Jurnal Asia
Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) menyatakan, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu mengkaji ulang penarikan biaya pencatatan tahunan (annual listing fee) saham emiten berdasarkan kapitalisasi pasar. Sebab, sebagian besar emiten berkapitalisasi kecil dan menengah (small & mid cap) keberatan.

“Banyak perusahaan menengah ke bawah utamanya di sektor komoditas yang keberatan. Bahkan ada badan usaha milik negara (BUMN) yang merasa kenaikan listing fee menekan permodalan mereka,” kata Wakil Ketua AEI Theo Lekatompessy.

Theo menegaskan, jika BEI ingin bersikap adil, kenaikan annual listing fee harus diterapkan sama rata. Misalnya, ke­naikan biaya bagi emiten kecil, me­nengah, dan besar ditetapkan 10 per­sen dari biaya lama, bukan merujuk ke­pada kapitalisasi pasar.

Menurut dia, AEI sudah melayangkan surat keberatan kenaikan listing fee kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI. AEI menilai, kenaikan tersebut kemungkinan tidak memberatkan emiten berkapitalisasi besar, tapi sejumlah emiten di sektor tertentu cenderung merasa tertekan.

“Coba lihat sektor komoditas seperti batu bara. Penjualan sedang tidak bagus dan harus dibebankan oleh setoran tahunan yang naik. Kalau dihitung de­ngan formula baru, bagi emiten kecil bia­ya annual listing bisa naik 10 kali lipat,” ung­kap dia.

Theo menegaskan, sejumlah peru­sahaan tengah mengkaji untuk meng­hapus pencatatan (delisting) saham aki­bat peraturan baru tersebut. Selain itu, minat calon emiten untuk mencatatkan sa­ham di bursa berpotensi turun.

Sementara itu, BEI menegaskan, ke­­naikan annual listing fee telah mem­per­timbangkan prinsip keadilan. Kini, pe­narikan annual listing fee akan dise­suaikan dengan kapitalisasi pasar se­tiap emiten yang tercatat di BEI.

Kenaikan annual listing fee telah ter­can­­­­tum pada perubahan aturan pen­catatan saham dengan nomor Kep-00001/BEI/01-2014. Aturan tersebut me­­re­visi peraturan lama yaitu Kep-305/BEJ­/07-2004.
Dalam peraturan lama, annual listing fee ditetapkan Rp500.000 untuk setiap keli­patan Rp1 miliar dari modal disetor terkini emiten. Nilai yang dibayar antara minimal Rp5 juta sampai makmisal Rp100 juta.

Pada peraturan baru, nilai tersebut ditingkatkan menjadi minimal Rp50 juta dan maksimal Rp250 juta. Biaya pen­catatan tahunan harus dibayar paling lam­bat hari terakhir bursa pada setiap bulan Januari.“Perbedaannya, kalau dulu per­hitu­ngan disesuaikan dengan modal yang dise­tor emiten, sekarang merujuk kepada kapi­talisasi pasar,” jelas Direktur Utama BEI Ito Warsito.

Menurut Ito, dengan merujuk kepada ka­pitalisasi pasar, penarikan annual listing fee akan mengikuti sifat alamiah emiten di pasar modal. Setiap emiten yang memiliki kapitalisasi pasar di bawah Rp100 miliar, dikenakan annual listing fee batas bawah Rp50 juta. Sedangkan emiten dengan kapitalisasi pasar di atas Rp500 miliar akan dikenakan listing fee batas atas Rp250 juta.

Sedangkan emiten yang memiliki kapitalisasi pasar antara Rp100 miliar sampai Rp500 miliar, pehitungannya akan menggunakan formula setiap 1 miliar saham emiten dikalikan dengan Rp500.000.

Ito menyontohkan, emiten yang me­mi­liki market cap hampir Rp250 triliun ha­rus membayar annual listing fee Rp250 juta, meskipun tahun lalu emiten ter­sebut hanya membayar Rp38,5 juta. “Jangan hanya liat kenaikan listing fee se­kian persen, tapi lihat kapitalisasi pasar emiten itu juga naik setiap tahun” tutur dia.

Menurut Ito, perhitungan berdasarkan kapitalisasi pasar lebih adil bagi emiten. Saat ini, berdasarkan catatan bursa, tidak semua emiten mengalami kenaikan listing fee. Sedikitnya 27 emiten yang annual listing fee-nya turun lantaran kapitalisasi pasarnya menyusut.

Berdasarkan data RTI, saat ini ter­dapat sekitar 46 emiten yang memiliki ka­pitalisasi pasar di bawah Rp100 miliar, 106 emiten yang memiliki kapitalisasi pa­sar dalam rentang Rp100 miliar-Rp500 miliar, dan ada 361 emiten yang memiliki kapitalisasi pasar di atas Rp500 miliar.

Ito mengakui, kebijakan ini men­dapatkan penolakan dari sejumlah emi­ten. Padahal, BEI sempat ingin mem­berlakukan kenaikan listing fee pada 2009. Namun, ketika itu, Asosiasi Emiten Indo­nesia (AEI) meminta penundaan ren­cana kenaikan, sebab pasar Indonesia masih dalam tahap pemulihan setelah krisis pada 2008. “Kenaikan ini juga bukan hal yang mendadak, karena sudah melalui hearing pendapat sejak 2008,” ujar Ito. (id)

Close Ads X
Close Ads X