Pengusaha Ritel Keluhkan Birokrasi Tak Transparan

Jakarta | Jurnal Asia
Sistem birokrasi yang tidak transparan ru­panya selalu menjadi masalah hampir di seluruh sektor usaha yang ada di In­do­nesia. Salah satu sektor bisnis yang me­rasa masih terbebani hal ini yaitu usaha ritel. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengu­sa­ha Ritel Indonesia (APRINDO), Tutum Rahanta, mengatakan dalam sektor ritel, birokrasi selalu menjadi penghambat bagi pengusaha yang ingin mengembangkan bisnis melalui ekspansi.

“Dengan berbagai aturan yang ada itu birokrasi, setiap pembukaan toko itu tidak semulus yang dibayangkan. Menu da­lam biaya tidak pernah transparan, itu harusnya menjadi tanggungjawab pe­merintah,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/1).

Menurutnya, birokrasi yang tidak men­dukung dunia usaha ini bukan ha­nya ter­jadi ditingkat pusat, tetapi juga diting­kat daerah. Hal ini menyebabkan biaya un­tuk pengembangan usaha ritel menjadi sa­ngat besar.

“Memang ada perubahan, tetapi tidak sig­nifikan, bukan hanya di pusat, tapi juga daerah. Makanya kita minta harus trans­paransi dalam perizinan, harus ada jang­ka waktu yang pasti. Kalau ada ke­tidak­jelasan suatu izin itu yang dika­takan se­bagai biaya,” lanjutnya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Sek­retaris Jenderal APRINDO Satria Ha­mid. Untuk pelakukan pengembangan usa­­ha ritel seperti membuka toko baru, ada 50 perizinan yang harus dilalui pe­ngu­saha.
Beban biaya ini bertambah besar lagi karena belum tersedianya infrastruktur penunjang seperti jalan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Beban biaya itu, seperti biaya peri­zi­nan, kemudian untuk buat suatu usaha ritel di daerah suplai listriknya besar, juga ke­ter­sediaan infrastruktur. Ini domainnya pemda, tapi kadang jalan kita juga yang buat, idealnya ini disiapkan pemerintah. Kalau izin paling tidak ada 50 perizinan, memang ada perizinan satu atap, tapi izin terkait masih harus ke dinas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah),” tandasnya. (l6)

Close Ads X
Close Ads X