Susan Bachtiar Mengajar itu Tugas Mulia

susan bachtiar5 Susan-Bachtiar-
Siapa yang tak kenal Susan Bachtiar. Pembawaan serta gayanya yang anggun, membuat setiap wanita Indonesia pasti penasaran akan koleksi tasnya. Bisa ditebak, Susan memilih merek-merek high end berkualitas bagus seperti Burberry, Louis Vuitton dan Gucci. Kebanyakan ukuran tasnya kecil dan medium. Di saat sebagian besar orang zaman ini memandang sebelah mata profesi guru, artis cantik Susan Bachtiar malah mengaku mencintai pekerjaan ini dengan penuh kedalaman jiwa, bahkan ingin tetap setia sepanjang hayat. Meski sudah menjalani profesi guru selama 7 tahun, namun kesetiaan wanita pemilik tinggi badan 170 cm penyandang nama lengkap Anastasia Emmanuelle Susan Magdalena Bachtiar di jagad ini masih perlu diuji.
“Kalau bisa mengapa tidak mungkin saya menjadi guru seumur hidup?” ungkapnya retoris soal niatnya di dunia pendidikan, paparnya kemarin.
Bagi alumni Unika Atma Jaya ini, mengambil bagian dalam upaya membentuk pribadi seorang manusia memberi kepuasan tersendiri. “Mengamati perkembangan diri dan pengetahuan seorang anak mengasyikkan, lho. Apalagi kalau anak-anak itu paham yang kita ajarkan,” ujar Susan.
Sebenarnya, jauh sebelum ia mengemban tugas mendidik ini, Susan tidak sedikit pun memiliki angan-angan untuk menjadi guru. Bahkan boleh dikatakan, ini hanya merupakan sebuah “kecelakaan” baginya. Lho kok? Sejak kecil, ia berkeinginan untuk menjadi seorang dokter. Karenanya pelajaran seperti biologi ia beri perhatian cukup besar. Ketika di bangku SMA, dia pun memilih program A-2. Tapi apa yang terjadi setelah lulus SMA? Ia tidak lulus dalam tes Sipenmaru. Akibatnya, ia sempat mutung bahkan tidak mau kuliah kalau bukan di universitas negeri. “Saya harus ikut lagi tes Sipenmaru tahun depan,” tekadnya kala itu (1992).

Ketagihan sampai
sekarang…
Dalam keadaan mutung seorang kakaknya yang saat itu tengah kuliah di Fakultas Ekonomi, Unika Atma Jaya, Jakarta menyarankan dia untuk masuk jurusan bahasa Inggris di Atma Jaya. Sang kakak tahu betul minat sang adik dalam bidang bahasa cukup besar. “Di Atma kamu bisa mendalami bahasa Inggris, fonetik, semantik dan lain-lain,” anjur sang kakak sedikit membujuk. Awalnya Susan tidak mempedulikan anjuran kakaknya. Tapi secara pelan-pelan ia mulai menunjukkan ketertarikannya meski masih tanpa antusiasme yang tinggi. Yang menangani administrasi untuk masuk ke Atma Jaya adalah kakaknya. Dia sendiri hanya tahu ikut tes dan kuliah. Yang mengisi kartu SKS saja kakaknya, bahkan selama empat semester. Dia sendiri masih terkesan ogah-ogahan.
Meski urusan administrasi terkesan dia lalaikan namun minatnya belajar bahasa Inggris tetap besar. Apalagi kebiasaan belajar dengan tekun sudah tertanam kuat dalam dirinya dari keluarga dan sekolah sejak kecil.
Awal-awal kuliah dia hanya tahu bahwa dia kuliah di jurusan bahasa Inggris. Baru pada semester IV dia tahu bahwa dia sedang kuliah di FKIP, bahasa Inggris. Artinya, ia berada di jalur guru. Pasalnya, saat itu ia harus berpraktik mengajar. Susan sempat kaget dan shock karena merasa tidak punya bakat mengajar. “Tapi kalau saya tidak praktik, saya tidak bisa mendapat gelar sarjana jadi saya jalani saja. Ehhh ternyata mengasyikkan mengajar anak-anak,” kisah Susan sembari melempar senyum manis.
Kalau dirunut ke belakang, kecuali kakek dari pihak ayahnya, tidak ada satu pun keluarganya yang menjadi guru. Karena itu sang ibu dan kakak-kakaknya yang lain terheran-heran ketika Susan menjadi guru. “Kok kamu mau-maunya menjadi guru,” tanya kakak-kakaknya.
Tidak salah dia lahir persis pada hari pendidikan (2 Mei 1973). Prestasi dan bakat mengajar Susan kemudian ternyata sangat menggembirakan. Melihat prestasi ini seorang dosen seniornya menawarinya untuk mengajar anak-anak SD di sebuah sekolah (SD Abdi Siswa). “Saya coba dan lalu ketagihan sampai sekarang.” Ternyata pihak Atma Jaya terus memantau prestasi mengajar Susan. Setelah beberapa lama menjadi guru, oleh almamaternya ia ditawar menjadi dosen honorer.
Bagi putri bungsu pasangan Syarif Bachtiar dan Desy Murni Firmansyah ini, mengajar anak SD lebih memberi kepuasan jiwa daripada berhadapan dengan mahasiswa. “Itu tadi, saya senang ikut membentuk anak sejak kecil,” kata presenter Mimbar Agama Katolik ini memberi alasan.
Dari sisi penghasilan, semua orang sudah sangat tahu bahwa penghasilan sebagai seorang guru itu kecil. Tapi Susan tidak terlalu mempedulikannya. Sekali lagi ia katakan, “Kepuasan membentuk dan mendidik anak lebih penting bagi saya. Kepuasannya lain meskipun materi yang saya terima dari sekolah jauh dibanding yang saya dapat di modelling atau presenter. Mungkin tidak seperberapanyalah. Cuma kepuasannya, kalau kita ngajar sesuatu ke anak dan anaknya bisa, rasanya gimana gitu.”
Meski minatnya pada dunia pendidikan terbilang cukup besar namun sampai saat ini ia masih menjadi guru honorer saja. Ia tetap aktif di dunia entertainmen namun tidak jauh-jauh dari dunianya. Lihat saja misalnya mata acara Kuis Galileo. Lewat acara semacam ini, jelas Susan, dia ingin ambil bagian dalam upaya mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa atau masyarakat luas secara populer dan dalam kerangka menghibur.
Ia menilai, suasana yang paling menentukan bagi seseorang agar dapat menyerap sebuah pengetahuan adalah suasana rileks. Minat siswa pada fisika misalnya turun, jelas bungsu dari empat bersaudara ini, karena fisika dirasa menakutkan. Yang selalu dihadapi anak-anak adalah rumus-rumus kering yang seolah-olah tidak punya hubungan langsung dengan kehidupan nyata dan tidak dikemas dengan menarik.
Tanpa bermaksud berpromosi, Susan menjelaskan bahwa dia dan penyelenggara Galileo mendapat banyak tanggapan positif dengan acara ini. “Anak SD sudah mulai suka karena Galileo dikemas dalam bahasa dan peragaan yang mudah dimengerti oleh awam.”
Bagaimana jalan yang ditempuh mantan juara I Cover Girl Majalah Mode (1990) ini menuju Galileo? Ternyata ini berawal dari kegemarannya dalam dunia modelling. Dia dikenal dari sini karena ia memang penyabet sejumlah trophy. Dan rupanya, hal pendukung lain adalah karena ia juga seorang guru.
Sejak menikah pada tahun 2000 dan bersamaan dengan datangnya beberapa tawaran untuk menjadi presenter, Susan mulai meninggalkan dunia modelling yang ditekuninya sejak 1988. Alasannya, ingin konsentrasi mengurus keluarga meski sampai saat ini ia mengaku belum mendapat momongan. Bagi Susan, menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik membutuhkan proses. Dan proses itu ia ingin jalani secara lebih serius sejak pernikahannya dengan Sumardi Supangat.
Menjadi presenter baginya memberi kesan tersendiri. Namun ia mengaku menjadi presenter Mimbar Agama memberi kesan lain. Dia mengaku, lewat pertemuannya dengan sejumlah narasumber yang kadar keimanan dan pengetahuan keagamaanya mendalam ia mendapat banyak pengetahuan dan wawasan baru. Misalnya ia semakin sadar mengapa Tuhan belum juga memberi ia momongan hingga hari ini. “Tuhan rupanya merasa perlu mempersiapkan saya untuk menjadi ibu yang baik. Sebab anak kan merupakan anugerah yang harus diurus dengan baik kan?” Sebelumnya ia sempat sebel karena belum hamil juga meski dokter mengatakan dia dan suaminya normal.

Tak Bisa Menunggu…
Dilihat dari kecantikan, popularitas dan kadar intelektual yang ia miliki, sangat mungkin baginya untuk eksis di dunia perfilman atau sinetron. Tapi ia mengaku tidak tertarik di dunia ini meski ia dapat cukup banyak tawaran. Ia memang pernah menjadi bintang tamu pada sebuah sinetron tapi justru dari sini ia merasa tidak cocok. “Mungkin ini soal waktu. Tidak tahu apakah ini sifat jelek atau baik. Pokoknya harus sesuai waktu. Kalau nggak, mood saya jadi berubah.” Ia ingin selalu on time. Ia tidak mau menunggu dan juga tidak mau membiarkan orang menunggu. Inilah pengaruh lingkungan sekitarnya yang sangat menekankan disiplin. Ia mengaku belajar disiplin dari sekolah sejak kecil. Dia dan kakak-kakaknya sekolah di sekolah yang sama. Dengan demikian justru mereka yang secara tidak langsung menularkan nilai disiplin di rumah.
Sampai saat ini pun di saat ia menjadi guru, disiplin itu sangat mempengaruhinya. “Kalau ada murid saya yang pakaiannya tidak rapi saya suruh keluar. Setelah sudah rapi baru boleh masuk lagi. Ajaran suster saya di sekolah sangat tertanam dalam diri saya,” cerita ibu muda kelahiran Jakarta ini dengan semangat. (int)

Close Ads X
Close Ads X